Ternate (antarasulteng.com) - Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo,
memaparkan kondisi makro Indonesia sebagai implikasi kebijakan ekonomi,
terutama kebijakan struktural jangka menengah panjang bagi Indonesia di
masa mendatang.
"Kondisi ekonomi makro saat ini ditandai dengan
defisit neraca transaksi berjalan yang telah berlangsung selama 11
triwulan, kondisi ini merupakan pertama kali terjadi sejak keluar krisis
Asia pada tahun 1997 hingga 1998," kata Agus Martowardojo, di Ternate,
Sabtu.
Ia menjelaskan, defisit neraca transaksi berjalan itu
terjadi untuk kurun waktu yang cukup panjang. Meski diakui, sebelum
tahun 1997--1998, kondisi negara ini juga defisit. Namun setelah periode
reformasi yaitu pascakrisis ekonomi, yang terjadi negara ini tetap
surplus.
Sedangkan, tambahnya, di tahun 2005 sempat satu kuartal
kita mengalami defisit. Kemudian di tahun 2008 sempat tiga kuartal
mengalami defisit.
Tetapi sekarang, tambah dia, sejak tahun 2011
kuartal keempat sampai sekarang, kita terus mengalami defisit transaksi
berjalan dengan jumlah yang terus membesar.
Ia melanjutkan, defisit berkepanjangan itu telah meningkatkan
kerentangan ekonomi makro Indonesia. Karena secara bersamaan kondisi
fiskal atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga mengalami
tekanan defisit.
"Sehingga Indonesia dikatakan mengalami clean defisit atau defisit di transaksi berjalan dan defisit di fiskal," katanya.
Ia mengatakan, secara keseluruhan neraca perdagangan dapat
dipertahankan agar tetap berimbang, karena defisit transaksi berjalan
dapat ditutup dengan arus masuk investasi portofolio asing dan utang
luar negeri terutama sektor swasta.
Namun, kata Gubernur BI, Indonesia juga perlu menyikapi secara
berhati-hati komposisi pembiayaan defisit transaksi berjalan itu, karena
akumulasi arus masuk investasi portofolio ke surat utang negara telah
mencapai Rp 423 triliun atau 35,4 persen dari total outstanding surat
utang negara yang telah menunjukan dimiliki oleh asing dan jumlahnya
selama empat tahun terakhir ini meningkat tajam.
"Kita
perhatikan, kalau dibandingkan dengan negara tetangga Indonesia berada
dalam rasio hutang yang dimiliki negara termasuk sangat tinggi yakni 36
persen, sedangkan Malaysia mungkin hanya 29 persen, Turki 29 persen,
bahkan India hanya 5 persen, jadi rasio hutang atau surat hutang negara
asing sudah cukup tinggi," katanya.
Selain itu, perkembangan hutang luar negeri swasta telah mencapai 153 miliar dollar dan bisa dilihat dari debt service ratio Indonesia menujukkan kapasitas melunasi hutang yang sedang menurun.
Pasalnya, debt service ratio Indonesia mengalami peningkatan dari yang sebelumnya hanya 21 persen, bertahap mengalami kenaikan hingga 48 persen, sementara rule of tam Indonesia sebesar 30 persen itu sudah dikategorikan sangat tinggi.
"Kalau sekarang sampai 48 persen, tentu kita perlu waspadai,
kapasitas debitur korporasi untuk mengelola resiko nilai tukar dan
likuiditas juga perlu diwaspadai, karena BI memonitoring semua hutang
luar negeri," ujarnya.(skd)
Inilah Kondisi Ekonomi Makro Indonesia
Kondisi ekonomi makro saat ini ditandai dengan defisit neraca transaksi berjalan yang telah berlangsung selama 11 triwulan, kondisi ini merupakan pertama kali terjadi sejak keluar krisis Asia pada tahun 1997 hingga 1998