Kontroversi pelaksanaan tarawih sesuai kondisi daerah

id Kontroversi Fatwa MUI,Fatwa MUI,Lukman S Thahir

Kontroversi pelaksanaan tarawih sesuai kondisi daerah

Dr. Lukman S Thahir MA, Pakar filsafat dan pemikiran Islam IAIN Palu (HO-Syamsudin)

Dalam kondisi saat ini, dengan angka percepatan laju terinveksi COVID-19 di atas 500 persen jika dibandingkan dengan tanggal 16 Maret pada saat fatwa itu pertama kali dikeluarkan, maka ancamannya bukan lagi zona merah, kuning dan hijau, tetapi pada
Palu (ANTARA) - Dua  hari menjelang Ramadhan, dan hingga tulisan ini dibuat,  umat Islam di Indonesia masih saja ramai membicarakan pernyataan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Muhyiddin Junaidi. 

Pernyataannya di sebuah media pada Rabu (22/4) ditulis dengan bahasa provokatif. MUI: Pelaksasanaan Tarawih Menyesuaikan Kondisi di Daerah. 

Berita ini sontak  menjadi kontroversi. Di satu sisi, pernyataan tersebut ditanggapi dengan penuh kegembiraan dan suka cita oleh umat Islam melalui media sosial seperti facebook, instagram maupun WA. Antara lain mereka mengatakan [tanpa menyebut nama], saya kutip di sini: “Syukur alhamdulillah“, “Sekarang hati terasa nyaman alhamdulillah MUI”. 

“Selama ini, ini yang saya tunggu. MUI meralat fatwa yang sebelumnya. Dikarenakan tempat saya masih zona hijau, tetapi tidak diizinkan tarawih dan lain-lain. Tetapi jika MUI meralat fatwa yang sebelumnya, kami sangat bersyukur”.  

“Betul, asal jaga kehati-hatiannya, kalau perlu dengan standar WHO, dengan menyediakan alat pendeteksi suhu tubuh, untuk mengecek suhu tubuh setiap jama’ah serta tempat cuci tangan, sabun dan di depan masjid tertentu, setiap jama’ah bawa masker, yang terutama sekali, jama’ahnya yang itu-itu saja, tidak boleh ditambah jamaah dari luar walaupun status sehat, dan bagi jamaah yang sakit, flu dan batuk, ndak usah ikut dulu berjamaah”. 

Ada juga yang menulis, “Ini yang bijaksana. Jangan disamakan saja aturan daerah yang dianggap aman”. 

Baca juga: MUI: Maknai musibah pandemi COVID-19 sebagai cobaan

Sementara mereka yang tidak setuju berkata, “Kelonggaran aturan ini yang membuat pandemi tidak akan selesai. Daerah dikatakan zona merah atau kuning nunggu ada yang positif atau PDP dulu, ya udah kandung telat kalau gitu. Seharusnya lingkungan yang terdapat pemudik/pelaku perjalanan maka masjid, mushalla dilingkungan tersebut harus ditutup, minimal selama masa karantina. 

Definisi ODP juga banyak pihak mengartikan beda-beda. Jadi di masa pandemi ini, langkah yang paling baik adalah memposisikan kita seolah-olah di daerah pandemic. 

Bagaimana masalah ini bisa menjadi kontroversi? Padahal KH Muhyiddin dalam pernyataannya di hadapan  para pimpinan  ormas Islam tingkat Pusat di Gedung MUI Pusat, hanya memberi penjelasan ulang dan penegasan  terkait fatwa MUI Nomor 14 tahun 2020. 

Kenapa menjadi kontroversi, padahal sebelumnya tidak. Ada beberapa alasan dan analisis saya.
 
Pertama, pernyataan  KH. Muhyiddin ini menjadi kontroversi, karena produk hukum MUI yang disampaikan dan dipertegas kembali olehnya, tidak lagi sesuai dengan konteks sebaran COVID-19 yang terjadi saat pernyataan itu diungkapkan. 

Baca juga: MUI dorong penceramah terus sampaikan tentang protokol kesehatan COVID-19

Bagaimana bisa berkesimpulan seperti ini? Mari kita lihat fakta dikeluarkannya fatwa MUI tersebut. Tanggal 2 Maret 2020, ketika pertama kali pandemi ini melanda Indonesia, baru dua orang terpapar, seorang ibu 64 tahun dan anaknya 31 tahun. 

Tanggal 3 s/d 5 Maret, masih tetap dua orang. Tanggal 6-7 Maret sudah empat orang. Tanggal 8, enam orang. Tanggal 9, sudah 19 orang. Tanggal 10 naik menjadi 27 orang, grafiknya terus  naik pada 11-12 Maret, sebanyak 34 orang. 

Tanggal 13 Maret naik dua kali lipat menjadi 64 orang. 14 Maret naik menjadi 69, dan tanggal 15 melonjak menjadi 117 orang. Tanggal 16 Maret, bersamaan dengan dikeluarkannya fatwa MUI, pasien positif 134 orang. 

Dengan kondisi seperti ini, fatwa MUI  terutama poin 5 dan 6, tentang boleh tidaknya shalat jumat dan tarawih atau zona merah, kuning dan hijau, masih bisa diterima ummat, karena ancaman COVID-19 belum menghawatirkan umat. 

Tetapi ketika, Fatwa MUI ini diulang kembali penjelasannya oleh KH. Muhyiddin pada Rabu (22/4) 2020, dimana umat yang terinveksi COVID-19 sudah mencapai jumlah 7. 418 orang, yang meninggsal sudah mencapai 635 orang,  di sinilah sumber kontroversinya terjadi, sebagaimana pro-kontra yang diungkapkan di atas.  

Baca juga: MUI: muslim meninggal karena pandemi COVID-19 mati syahid akhirat

Kedua, pernyataan wakil ketua umum MUI ini dianggap seperti hadirnya hujan di tengah-tengah ladang  tandus, khususnya bagi mereka yang menyetujuinya, dan laksana  bom waktu yang siap meledak, bagi yang tidak sependapat  dengan pernyataan itu di saat COVID-19 semakin mengancam masyarakat. 

Belum lagi, ada kelompok lain dari spiritualitas umat yang “sumbunya pendek”, seketika menjadikan fatwa ini sebagai  dalil atau argumentasi yang paling tepat untuk  melegalkan shalat Jumat dan tarawih berjamaah, khususnya di bulan Ramadhan, terutama bagi daerah-daerah yang “merasa” belum masuk dalam kategori zona merah. 

Fatwa MUI Pusat ini juga kemudian menjadi dasar untuk “melawan” fatwa MUI di daerah yang sudah terlanjur mengeluarkan fatwa pelarangan shalat Jumat dan tarawih di bulan Ramadhan. 

Bagi mereka yang setuju dengan kebijakan MUI dan pemerintah di tingkat daerah, pernyataan KH. Muhyiddin sama dengan membenturkan MUI di daerah dengan umatnya. Fatwa MUI di daerah yang dikeluarkan, sesungguhnya menyesuaikan dengan realitas kekinian sebaran COVID-19, menjadi mentah, dianggap terlalu berlebihan, dan bahkan dianggap tidak bijaksana. 

Akibatnya, bukan hanya MUI yang tercoreng namanya, pemerintah pun terkesan menjadi korban, kehilangan cinta dan kepercayaan rakyat,  karena atas dasar fatwa MUI di masing-masing daerah, pemerintah dengan tegas  mengeluar surat keputusan pelarangan shalat jumat dan tarawih di masjid. 
Kejadian seperti ini, persoalan yang tadinya murni masalah hukum, pada akhirnya bergeser menjadi masalah politik. Pemerintah yang sejatinya ingin melindungi rakyatnya, bukan hanya dianggap tidak memiliki kepekaan  agama, tetapi juga kehilangan kepercayaan di mata rakyatnya, karena sebagian masjid tidak menggubris titahnya.  

Baca juga: Wapres Ma'ruf Amin dorong MUI untuk keluarkan fatwa haram mudik

Bagaimana  menyikapi masalah ini? Ada tiga pertimbangan yang dapat  dikemukakan: 

Pertama, apa yang ditegaskan wakil ketua MUI Pusat di atas, meskipun semangatnya baik, tetapi tidak relevan lagi disampaikan, karena ancaman dan bahaya COVID-19 pada saat lahirnya fatwa itu, tidak lagi sejalan dengan percepatan sebaran COVID-19 pada saat disampaikan kembali fatwa tersebut. 

Dalam konteks ini saya ingin menyatakan bahwa apa yang disampaikan itu adalah kontra-produktif untuk tidak menyatakan tidak mendidik umat. 
Kedua, karena pernyataan itu tidak lagi sejalan dengan situasi dan perkembangan COVID-19 saat ini, maka sudah saatnya MUI Pusat merekonstruksi fatwa Nomor 14 tersebut untuk disesuaikan dengan perkembangan terkini sebaran COVID-19. 

Dalam kondisi saat ini, dengan angka percepatan laju terinveksi COVID-19 di atas 500 persen  jika dibandingkan dengan tanggal 16 maret pada saat  fatwa itu pertama kali dikeluarkan, maka ancamannya bukan lagi zona merah, kuning dan hijau, tetapi pada aspek bahayanya yang tidak terprediksi.  

Dengan logika berpikir seperti ini, situasi terkini di masing-masing daerah menjadi ukuran utama untuk penetapan sebuah hukum. 

Cara seperti ini, bukan semata-mata untuk menghindari terjadinya benturan di tingkat bawah umat, tetapi juga  untuk menjaga marwah MUI sebagai lembaga pemersatu umat yang ada di pusat dan di daerah. 

Ketiga, fatwa MUI Pusat juga dengan tegas menetapkan posisi hukum  yang diambil oleh pemerintah dalam penangan pandemic COVID-19, agar apa yang ditetapkan pemerintah tidak semata-mata bersifat politis tetapi juga berhubungan dengan yuridis Islam.  

Dengan begitu, langkah kebijakan yang diambil pemerintah bersifat mengikat umat karena ada hukum Islam di dalamnya, sehingga kalau tidak dijalankan akan menimbulkan dosa.

" Dr. Lukman S Thahir adalah pakar filsafat dan pemikiran Islam IAIN Palu