Teknologi Supra Intensif Amunisi Baru Perudangan Nasional

id udang, supra, intensif

Teknologi Supra Intensif Amunisi Baru Perudangan Nasional

DR Ir Hasanuddin Atjo, MP memaparkan sistem budidaya udang Supra Intensif Indonesia pada peluncuran teknologi ini di Kabupaten Barru, Sulsel, Sabtu (19/10) (Antara/Rolex Malaha)

"Saya yakin dengan penerapan teknologi supra intensif secara terintegrasi dan berkelanjutan, Indonesia akan mampu menjadi negara penghasil udang terbesar di dunia," kata Sudirman Sa'ad.
Palu (antarasulteng.com) - Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan target produksi udang nasional 2013 sebanyak 608.000 ton, namun berharap realisasinya akan lebih dari itu untuk memanfaatkan peluang pasar udang global yang terbuka lebar bagi Indonesia dewasa ini.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menggenjot produksi, antara lain melalui program revitalisasi tambak yang tahun 2013 ini diharapkan teralisasi 504 hektare pada 28 kabupaten di enam provinsi yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), Lampung dan Sumatera Utara.

Pengelolaan tambak dalam program revitalisasi ini akan dilakukan secara intensif dengan pengawalan teknologi yang maksimal dan diharapkan setiap hektare akan mencatat produktivitas antara 10 sampai 15 ton perhektare, begitu kata Sekretaris Ditjen Perikanan Budidaya Kementerian KP, Muhammad Abduh.

Untuk itu, Kementerian KP mengucurkan dana Rp125 miliar untuk membiayai program ini, belum lagi komitmen sejumlah bank plat merah seperti Bank BRI, BNI, BTN dan Bank Daerah masing-masing daerah sasaran program untuk menyiapkan pagu sampai Rp30 miliar.

Di tengah akselerasi program revitalisasi udang tersebut, kini muncul teknologi baru budidaya udang yang dinilai luar biasa oleh berbagai pihak berkompeten mulai dari pengusaha tambak, pengurus asosiasi, akademisi, dan birokrasi di pusat dan daerah, karena telah teruji efektif dalam meningkatkan produktivitas dan sangat ramah lingkungan.

Teknologi budidaya udang vanamei yang diberi nama sistem budidaya Supra Intensif Indonesia itu diluncurkan Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Rokhmin Dahuri di lokasi pertambakan udang CV Dewi Windu, Desa Kuppa, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, sekitar 140 km utara Kota Makassar, Sabtu (19/10).

Sistem budidaya supra intensif Indonesia ini digagas dan diujicoba pemilik CV Dewi Windu yang juga Ketua Shrimp Club wilayah Indonesia Timur DR. Ir. H.Hasanuddin Atjo, MP sejak 2011 pada areal tambak seluar 1000 meter persegi.

Produktivitasnya menakjubkan yakni mencapai 15,3 ton atau kalau dikonversi ke satuan hektare adalah 153 ton/ha.

"Ini adalah angka produktivitas tertinggi tambak udang di dunia saat ini, yang sebelumnya dicatat Meksiko dengan produktivitas 100 ton/ha," kata Rokhmin Dahuri, guru besar IPB Bogor dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut.

Lima subsistem

Hasanuddin Atjo menjelaskan bahwa sistem supra intensif budidaya udang vanamei yang digagasnya adalah penerapan secara intensif lima subsistem budidaya yakni penggunaan benih bermutu, pengendalian kesehatan dan lingkungan, standarisasi sarana dan prasarana yang digunakan, penggunaan teknologi serta manajemen usaha yang baik.

"Kelima subsistem ini diimplementasikan secara intensif dan konsisten," ujar Hasanuddin yang juga Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah tersebut.

Luas satu petak tambak ujicoba sekitar 1000 m2 dengan ketinggian air mencapai 2,70 meter. Pematang dan dasar tambak dilapisi beton serta menggunakan central drain (pembuangan tengah yang diletakkan di dasar tambak) yang berfungsi membuang limbah berupa kotoran udang, sisa makanan dan limbah lainnya setiap enam jam secara mekanis.

Untuk menjaga ketersedian oksigen, digunakan kincir, root blower dan turbo jet. Pemberian pakan juga dilakukan secara otomatis dengan alat tertentu yang masih diimpor. Panen juga dilakukan secara parsial karena lebih efektif untuk perkembangan udang.

Setelah menjalani beberapa siklus panen dan perbaikan yang terus menerus dalam teknologi dan standarisasi pengunaan sarana dan prasarana produksi, hasil tertinggi yang dicapai pada panen bulan Februari 2013 dengan penebaran 750.000 ekor benur dan lama pemeliharaan sekitar 100 hari adalah 15,3 ton.

Dengan harga udang rata-rata saat itu sekitar Rp50.000/kg, nilai jual yang saya peroleh mencapai Rp750 juta, ujar Hasanuddin yang juga Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah itu.

Hasanuddin menambahkan, dalam dua pekan ke depan, ia akan melakukan panen untuk siklus kedua 2013 pada lokasi yang sama yang produktivitasnya diperkirakan akan meningkat menjadi 17 sampai 18 ton setelah dilakukan beberapa penyempurnaan lagi seperti menambah ketinggian air, kincir, serta panen parsial yang ditingkatkan frekwensinya.

"Saya sudah panen parsial sebanyak tiga kali dan sudah mengangkat hasil 10 ton dari dalam kolam. Masih ada panen satu dua kali lagi pada dua pekan mendatang yang saya perkirakan hasilnya mencapai tujuh sampai delapan ton lagi," ujarnya.

Dengan harga udang rata-rata Rp80.000/kg dewasa ini, maka nilai produksi yang akan diterima pada siklus ini mencapai sekitar Rp1,4 miliar, padahal investasi dan biaya operasi yang dibuang hanya sekitar Rp800 juta, itupun sudah termasuk investasi yang dilakukan sejak awal ujicoba sistem ini pada 2011 dan 2012.

Ketua MAI Rokhmin Dahuri mengemukakan bahwa budidaya udang supra intensif Indonesia secara terkendali dan terintegrasi akan mampu meningkatkan produksi udang secara nasional sebesar 300.000 ton per tahun.

"Ini tentu berdampak sangat positif terhadap penghasilan devisa, penyerapan tenaga kerja dan bermuara pada percepatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat," ujar mantan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut.

Dibiayai Pemerintah

Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) KKP Sudirman Sa`ad mengatakan bahwa pihaknya akan mempertimbangkan untuk membantu permodalan pengusaha yang siap menerapkan sistem budidaya supra intensif udang vanamei.

Teknologi budidaya ini sudah teruji efektivitasnya, namun karena resikonya tinggi, maka dipertimbangkan dengan matang sebelum mengucurkan dana APBN untuk membantu pengusaha yang serius mereplikasi teknologi ini, katanya.

Skenario pembiayaan bisa memanfaatkan dana dari Badan Layanan Umum (BLU) milik pemerintah yang bunganya relatif rendah sementara `overhead cost` lainnya bisa ditanggulangi dengan dana APBN.

Ia menyebutkan bahwa pada 2014, KKP sudah mengusulkan dana Rp200 miliar dari BLU milik pemerintah untuk membiayai program-program di KKP.

Dengan dana ini, kata Sudirman, pemeritnah bisa mendorong mereplikasi teknologi budadaya udang vanamei supra intensif ini di beberapa daerah potensial seperti program revitalisasi yang sedang berjalan.

"Kita jangan sampai kecolongan. Teknologi budidaya supra intensif ini sudah dengan susah payah dan penuh pengorbanan pribadi diuji coba oleh pengusaha nasional, jangan sampai justru negara lain yang mereplikasinya secara besar-besaran," ujarnya.

Ia berharap teknologi budidaya ini akan menjadi amunisi baru yang akan ditangkap secara profesional oleh pemeritnah dan para pelaku usaha perudangan nasional guna meningkatkan produksi dengan cara-cara yang intensif namun ramah lingkungan.

"Saya yakin dengan penerapan teknologi ini secara terintegrasi dan berkelanjutan, Indonesia akan mampu menjadi negara penghasil udang terbesar di dunia," kata Sudirman lagi.  (R007)