Kerusuhan Buol Karena Permainan Provokator?

id lonki

Kerusuhan Buol Karena Permainan Provokator?

Gubernur Sulteng Drs H Longki Djanggola, MSi (ANTARASulteng/Rolex Malaha)

Saya juga sangat prihatin dan kecewa karena sebagian masyarakat Buol tampaknya sangat mudah terprovokasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan anarkis dan destruktif...
Palu,  (antarasulteng.com) - "Saya sangat yakin bahwa ada provokator yang memainkan situasi ini," kata Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola menanggapi kerusuhan yang terjadi di Buol, Sabtu (19/4) malam dan berlanjut hingga Minggu (20/4).

"Saya juga sangat prihatin dan kecewa karena sebagian masyarakat Buol tampaknya sangat mudah terprovokasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan anarkis dan destruktif," katanya lagi saat dihubungi Antara melalui telepon.

Mengapa gubernur yakin provokator bermain? Alasannya sangat sederhana. Tindakan anarkis dan destruktif yang dilakukan massa ke Mapolsek Biau dan Momunu serta rumah tinggal anggota kepolisian sektor (polsek) di dua tempat tersebut pada Sabtu malam dipicu oleh hal yang kecil.

Berawal dari pertandingan sepak bola kompetisi Divisi I PSSI antara Perbul Buol dan tim dari Banyuwangi, Jawa Timur, yang berakhir dengan skor 1-2.

Entah apa pemicunya, usai pertandingan itu, terjadi perkelahian antarpendukung di dalam stadion. Perkelahian meluas menjadi tindakan anarkis berupa perusakan alat-alat di stadion.

Polisi pun, sesuai prosedur tetap (protap) mereka, langsung turun mengamankan situasi dan berupaya melerai perkelahian oknum-oknum yang dilaporkan sebagian telah dipengaruhi minuman keras itu.

Dalam upaya mengamankan situasi ini, polisi dilaporkan sempat mengeluarkan tembakan peringatan. Segera setelah kejadian itu, tersiar khabar ada seorang warga yang luka terkena tembakan. Massa pun marah dan merangsek ke Mapolsek Biau dan Momunu lalu melempari kantor polisi itu dengan batu dan bom molotov.

Mereka juga merusak dan membakar kendaraan dinas polisi, menjarah rumah-rumah tempat tinggal anggota polsek sementara polisi sendiri yang kekuatan personelnya jauh di bawah jumlah massa, hanya bisa bertahan dengan tameng.

"Kami menang memerintahkan agar anggota tidak melepaskan tembakan ke massa sekalipun itu peluru karet," kata Kapolres Buol AKBP Ferdinan Maksi Pasule.

Bupati Buol Amiruddin Rauf dan tokoh-tokoh masyarakatpun segera turun lapangan menenangkan massa sehingga tindakan mereka tidak sampai menimbulkan bentrokan hebat dengan polisi seperti yang terjadi pada 31 Agustus 2010 yang menewaskan delapan warga, melukai puluhan anggota Brimob dan menimbulkan kerugian material miliaran rupiah.

Gubernur Longki Djanggola yang tentu telah menerima banyak laporan dari aparat keamanan dan pemerintah daerah di Buol, mengaku sangat yakin bahwa oknum-oknum tidak bertanggung jawab bermain di balik kerusuhan Buol ini.

"Siapa mereka dan apa motifnya, entahlah. Saya sudah meminta Kapolda untuk menyelidiki provokator tersebut dan menindak tegas mereka sesuai ketentuan yang berlaku," kata Longki.



Hukum yang sakit

Banyak pihak mengakui bahwa suasana psikologis masyarakat Buol yang masih trauma pascakerusuhan 31 Agustus 2010 itu belum sembuh total sampai saat ini.

Selain karena begitu banyaknya nyawa di pihak warga sipil yang tewas di ujung peluru aparat saat itu, juga karena ketidakpuasan banyak pihak atas penanganan hukum anggota kepolisian yang terlibat.

Sebagai contoh, mantan Kasat Lantas Polres Buol Iptu Jefry Pantouw dan Briptu Sukirman yang didakwa terlibat kasus Buol 2010 itu divonis penjara selama (hanya) setahun oleh Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah, jauh di bawah tuntutan jaksa masing-masing lima tahun penjara.

Dua Kapolsek, beberapa anggota Polres lainnya dan anggota Brimob (hanya) diproses pada sidang profesi dan etik polri dengan hukuman yang dianggap masyarakat terlalu ringan yakni ditempatkan di tempat khusus, demosi jabatan dan ditunda kenaikan pangkat.

"Sejak peristiwa berdarah 31 Agustus 2010 itulah hubungan warga Buol dengan aparat kepolisian di sini kurang baik," kata Bupati Buol Amiruddin Rauf kepada pers Sabtu (19/4) malam.

Kapolda Sulteng Brigjen Pol Ari Dono Sukmanto saat memberikan pengarahan pada Raker gubernur, bupati dan camat se-Sulteng pada Oktober 2013 mengakui bahwa sejak kerusuhan antara warga dan polisi di Buol pada bulan Ramadhan 2010, wibawa hukum di daerah itu hingga kini masih "sakit".

"Sebagai contoh, semua lampu pengatur lalu lintas di sana dianggap hijau. Artinya walaupun menyala merah, namun masyarakat tetap terobos tanpa rasa takut kepada penegak hukum," katanya.

Ari Dono juga mengemukakan kalau ada seseorang yang mengingatkan soal pelanggaran lampu merah di perempatan jalan, mereka akan bilang, "ah, di sini polisi tidak ada."

Akibat kondisi seperti itu, kini tidak ada polisi yang mau bertugas atau dimutasi ke Buol.

"Belum lama ini saya tanya kepada para lulusan sekolah bintara yang baru akan ditempatkan. `siapa yang mau ditugaskan ke Buol`? tidak satupun yang mau. Ketika saya tanya ke Kapolres Buol siapa yang mau minta mutasi dari Buol ke tempat lain, eh semuanya minta dimutasi," kata mantan Direktur I Badan Reserse Kriminal Polri itu.

Kapolda meminta dukungan Bupati Buol Amiruddin Rauf agar kondisi hukum yang "sakit" di Buol ini segera bisa diatasi. Kondisi hukum yang `sakit` ini disebabkan oleh adanya kelompok-kelompok kecil yang militan yang mempengaruhi warga sehingga berperilaku seperti itu.



Arigansi warga

Bupati Buol Amiruddin Rauf membenarkan apa yang dikemukakan Kapolda Sulteng bahwa kepatuhan terhadap hukum oleh masyarakat serta penegakkan hukum oleh aparat di daerahnya sangat memprihatinkan dewasa ini.

Arogansi masyarakat terutama saat polisi akan menindak pelaku kejahatan masih sangat terasa.

Suatu saat, kata bupati, ada seorang warga dipanggil untuk diperiksa karena dilaporkan melakukan penipuan. Saat datang ke kantor polisi, terlapor tersebut ternyata membawa 40 orang temannya.

Kemudian, suatu saat lagi, ada seratusan orang demo di kantor bupati terkait masalah tanah dan nyaris anarkis. Bupati Buol kemudian menelepon Kapolres untuk mengirim anggota melakukan pengamanan, dan tidak lama kemudian satu truk personel tiba di lokasi demo. Namun ternyata para polisi itu tidak berani turun dari atas truk karena diancam massa yang jumlahnya lebih banyak.

"Karena saya bupati yang dipilih warga dan punya banyak pendukung, maka terpaksa saya menggunakan tenaga pengamanan swakarsa untuk mengusir para pendemo yang nyaris anarkis itu," ujar Amiruddin dan menambahkan; `negara tidak boleh kalah terhadap pelanggar hukum."

Sekarang, dalam aksi anarkis yang pecah pada Sabtu (19/4) malam, polisi dan Pemkab Buol pun sangat berhati-hati untuk mengambil tindakan hukum yang tegas.

Hingga Minggu (20/4) siang, belum satupun warga yang dimintai keterangan oleh polisi, padahal aksi anarkis mereka masih berlanjut. Polisi pun mengambil sikap bertahan. Melepas tembakan peringatan pun diperhitungkan dengan sangat cermat.

Ratusan personel tambahan dari Brimob Polda Gorontalo dan Brimob Polda Sulteng dilaporkan telah tiba di Buol pada Minggu petang. Kapolda Sulteng Brigjen Pol Ari Dono Sukmanto dengan beberapa pejabat terasnya juga telah berada di Buol setelah melakukan perjalanan darat yang melelahkan sekitar 20 jam.

Semua pihak berharap situasi di Buol segera dapat dipulihkan dan hukum bisa ditegakkan sebagaimana mestinya supaya ada ketenteraman di masyarakat.

"Selaku gubernur saya minta dengan hormat kepada masyarakat Buol untuk dapat mengendalikan diri, menahan emosi dan jangan mudah terpancing untuk diajak berbuat anarkis. Mari kita saling menghargai antarsesama warga dan juga dengan aparat kepolisian," pinta Gubernur Longki Djanggola. (skd)