Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, Koalisi minta RUU segera disahkan

id Masyarakat Adat,RUU Masyarakat Adat,HIMAS

Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, Koalisi minta RUU segera disahkan

Gandrung Temu menari bersama pada peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) di Sawah Art Space Desa Adat Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (9/8/2020). Peringatan HIMAS pada masa Pandemi COVID-19 ini, digelar masyarakat suku Osing di area persawahan dengan mengangkat tema "Kedaulatan Pangan dan Pengakuan Masyarakat Adat". ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/aww.

Jakarta (ANTARA) - Koalisi Kawal Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat meminta pengesahan rancangan undang-undang tentang pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat dapat segera dilakukan.

Direktur Eksekutif Nasional WALHI Nur Hidayati dalam keterangan pers daring peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia pada 9 Agustus mengatakan teman-teman koalisi jelas melihat keberadaan masyarakat adat yang tidak terpisahkan dari sejarah bangsa sudah sangat mendesak untuk diakui.
 

Menurut dia, bukan hanya soal wilayah, tapi juga hukum, tata cara dan kebudayaan kehidupan mereka seharusnya menjadi kewajiban negara untuk menghormati dan melindungi hak-hak tersebut. Karenanya, segera sahkan RUU masyarakat adat.

Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), sampai Agustus 2020 telah terdaftar 863 peta wilayah adat dengan luas mencapai 11,09 juta hektare. Dari jumlah tersebut telah ada penetapan pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat seluas 1,5 juta hektare melalui peraturan daerah dan surat keputusan kepala daerah.

Menurut Kepala BRWA Kasmita Widodo, konstitusi telah mengakui keberadaan masyarakat adat di Indonesia, namun pemerintah sampai saat ini tidak memiliki sistem administrasi untuk masyarakat adat.

Karena itu, katanya, RUU yang akan mengurusi masyarakat adat itu penting sekali keberadaannya, sehingga ada tanggung jawab pemerintah untuk menempatkan Kementerian/Lembaga yang khusus mengurusi masyarakat adat.
 

Sejarah, asal usul kearifan lokal dan bagaimana berhubungan dengan pemerintah dan negara tidak bisa menunda RUU itu untuk disahkan, sehingga segera ada pengakuan. Karena, dengan tidak adanya sistem administrasi yang secara khusus mengurusi masyarakat adat, membuat mereka tidak ada di semua dokumen pembangunan, membuat keberadaan mereka rentan, mudah tergusur, dan terkena kriminalisasi.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan bisnis-bisnis berbasis agraria itu telah berjaya di atas penyingkiran wilayah adat. Parahnya, investasi bercorak kapitalistik yang masuk memiliki pandangan bahwa masyarakat adat memiliki sistem ekonomi yang terbelakang, belum maju secara ekonomi modern.

Sementara indeks kebahagiaan (wellbeing) Masyarakat Adat jauh lebih tinggi alias bahagia lahir batin, kata Dewi.

Rencana investasi yang tak dibarengi dengan perlindungan atas Hak-Hak Masyarakat Adat akan diikuti dengan konflik. Hal tersebut, menurut dia, justru berdampak pada adanya ketidakpastian usaha dan tambahan biaya-biaya yang dikeluarkan investor untuk merespon konflik yang terjadi.

Dewi menegaskan investasi di wilayah adat seharusnya adalah investasi dari masyarakat adat dan untuk masyarakat adat sendiri dalam rangka memajukan kemandirian berdasarkan perlindungan dan pengakuan wilayahnya. Dengan begitu kerja sama investasi dengan dunia usaha perlu mengedepankan suara dan kepentingan Masyarakat Adat.
 

“RUU masyarakat adat itu inginkan agar komunitas adat jadi lebih mudah dan tidak bersayap lagi, termasuk soal hak komunal kolektif bersama. Karena di Kementerian Agraria masih enggan membahas kepemilikan komunal. Jadi di RUU itu penting diakomodasi dan didorong untuk masyarakat adat,” ujar dia.