Maroko terapkan kembali "lockdown" saat kasus COVID-19 melonjak

id Raja Maroko Mohammed VI ,karantina wilayah ketat,lockdown,Maroko,virus corona

Maroko terapkan kembali "lockdown" saat kasus COVID-19 melonjak

Arsip Foto. Raja Maroko Mohammed VI saat bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskow pada 15 Maret 2016. (Kremlin)

Rabat (ANTARA) -
Maroko dapat kembali ke penguncian total ketika kasus COVID-19 terus meningkat, ujar Raja Maroko Mohammed VI pada hari Kamis (20/8).

Raja Maroko Mohammed VI juga memperingatkan dampak  yang parah terhadap perekonomian.

Peringatan itu datang ketika lonjakan infeksi di pusat wisata Marrakech yang dulu ramai, membuat layanan kesehatan berada dalam tekanan dan menyebabkan protes oleh staf medis dalam beberapa hari terakhir.

Kasus baru secara nasional telah melonjak menjadi lebih dari 1.000 per hari sejak Maroko mencabut karantina wilayah ketat selama tiga bulan pada akhir Juni dan mencapai rekor tertinggi 1.766 pada 15 Agustus.

"Jika angka terus meningkat, Komite Ilmiah COVID-19 dapat merekomendasikan penguncian lagi, mungkin dengan pembatasan yang lebih ketat," kata Raja dalam pidatonya.

Memburuknya situasi kesehatan "tidak menyisakan banyak ruang untuk optimisme," katanya.

Hingga Kamis, Maroko telah mencatat total 47.638 kasus, termasuk 775 kematian dan 32.806 pasien yang telah pulih dari COVID-19.

Gambar yang diposting di platform media sosial menunjukkan pasien COVID-19 di Marakesh terbaring di lantai rumah sakit yang ramai.

Petugas medis telah melakukan protes dalam beberapa hari terakhir untuk menyoroti kemacetan dan kurangnya peralatan anti-virus dan oksigen.

Kementerian kesehatan pada Rabu mengatakan akan meningkatkan kapasitas di rumah sakit kota.

Maroko telah melakukan 1,7 juta tes yang mewajibkan pemakaian masker.

Keputusan darurat yang memberikan kelonggaran kepada pihak berwenang dalam memulihkan tindakan pembatasan telah diperpanjang hingga 10 September.

Perekonomian Maroko diperkirakan akan mengalami kontraksi sebesar 5 persen tahun ini, sementara defisit anggaran diperkirakan akan semakin dalam hingga 7,5 persen dari produk domestik bruto.