Otoritas Gaza "lockdown" usai kasus COVID-19 pertama di luar pusat karantina

id kasus covid-19 gaza,jalur gaza,gaza palestina,hamas

Otoritas Gaza "lockdown" usai kasus COVID-19 pertama di luar pusat karantina

Anggota pasukan keamanan Hamas Palestina memakai alat pelindung diri sebagai pencegahan penularan virus corona (COVID-19), di perbatasan Rafah, selatah Jalur Gaza, Selasa (11/8/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Ibraheem Abu Mustafa/HP/djo

Gaza (ANTARA) - Otoritas Gaza mengumumkan penutupan wilayah, atau lockdown, selama 48 jam usai terkonfirmasi kasus COVID-19 pertama di luar pusat karantina, Senin (24/8), yang terjadi pada empat pasien di kamp pengungsi.

"Jam malam total akan diberlakukan mulai tengah malam dan di seluruh wilayah jalur Gaza," kata Salama Marouf, ketua kantor media pemerintah, yang menambahkan bahwa kasus-kasus itu muncul di Gaza bagian tengah.

Dengan kabar yang menyebar, masyarakat Gaza banyak yang pergi ke toko dan pasar untuk membeli persediaan makanan dan barang kebersihan. Kendaraan polisi juga berkeliling dan membuat pengumuman lewat pengeras suara, meminta warga mematuhi aturan jam malam.



Otoritas kesehatan Gaza menyebut bahwa keempat kasus diketahui usai seorang perempuan berpergian ke Tepi Barat, di mana ia teruji positif COVID-19.

Juru bicara otoritas kesehatan meminta siapa saja yang mengunjungi sebuah toko swalayan di luar sebuah rumah sakit di Gaza tengah untuk melakukan karantina mandiri dan segera melapor kepada tim medis.

Sebelum kasus ini, Gaza, yang berpenduduk dua juta orang Palestina, belum melaporkan satu pun kasus di luar pusat-pusat karantina. Para pendatang harus menjalani karantina selama 21 hari di pusat karantina atas aturan yang dikeluarkan oleh Hamas.

Wilayah jalur sepanjang 40 kilometer yang diapit oleh Israel di utara dan timur serta Mesir di selatan itu dikuasai oleh kelompok Hamas. Baik Israel maupun Mesir menerapkan pembatasan pergerakan, yang mereka sebut dilakukan atas perhatian terhadap Hamas.

Karena itu, sebagian besar warga Gaza hanya mempunyai sedikit akses ke luar wilayahnya selama bertahun-tahun karena adanya blokade tersebut, yang banyak pihak bandingkan dengan  penguncian wilayah secara permanen.

"Terjadinya kasus ini di tengah tantangan pada sistem kesehatan yang ada menjadi perhatian kami," kata dr. Ayadil Saparbekov, Kepala Tim Kedaruratan Kesehatan lokal dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Kami telah menambah dukungan kami sebelum hal ini muncul dengan menyediakan peralatan kesehatan dan alat pelindung diri serta alat uji laboratorium," kata dia menambahkan.

Sumber: Reuters