Kementerian ESDM: Hilirisasi nikel akan berdampak positif bagi perekonomian

id kementerian esdm,minerba,hilirisasi,nikel,smelter

Kementerian ESDM: Hilirisasi nikel akan berdampak positif bagi perekonomian

Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ridwan Djamaluddin. ANTARA/HO-Kemenko Kemaritiman dan Investasi/am.

Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ridwan Djamaluddin mengatakan kebijakan hilirisasi nikel akan memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional.

Selain meningkatkan nilai rantai pasok produksi, kegiatan hilirisasi juga dapat menyelamatkan komoditas bijih nikel dari gejolak harga.

"Di hulu pertambangan itu praktis lebih mudah dilakukan dengan keuntungan yang lebih besar. Namun, ketika ditarik di hilir, muncul istilah keekonomian bahwa nilai tambah keuntungannya tidak seimbang dengan investasi (yang besar). Inilah sedang kita coba, sehingga keseimbangan itu terjadi," jelas Ridwan Djamaluddin dalam webinar bertajuk Masa Depan Hilirisasi Nikel Indonesia seperti dikutip dari laman Kementerian ESDM di Jakarta, Rabu.

Aspek keekonomian, sambungnya, merupakan aspek krusial atas keputusan kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia.

"Ketika keekonomian itu dikaitkan dengan pohon industrinya atau rantai pasok dari produk-produk hilir, belum berjalan sesuai harapan," ungkapnya.

Ridwan mengakui perencanaan keberadaan kawasan industri nikel selama ini tumbuh berkat dorongan dari pelaku industri. "Hal ini menyadari bahwa industri nikel itu penting," tegasnya.

Menurut dia, pertumbuhan industri pengolahan itu berdasarkan besarnya potensi nikel kadar rendah yang dimiliki Indonesia.

Senada dengan Ridwan Djamaluddin, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Minerba Irwandy Arif mengatakan konsep hilirisasi tidak berhenti ketika mineral diproses menjadi setengah jadi (intermediate product).

"Hilirisasi harus lebih dikembangkan lebih jauh lagi sampai produk menjadi bahan dasar atau pelengkap tahapan paling akhir dalam pohon industri," katanya.

Menurut Irwandy, konsep nilai tambah itu juga bukan semata rasio antara harga produk terhadap bahan baku. "Jangan hanya untuk diri kita sendiri, tapi berbagi kepada masyarakat," ujarnya.

Ia mencontohkan proses bijih nikel menjadi FeNi atau konsentrat, lalu diolah menjadi Ni-sulfat dan Co-sulfat. Setelah itu, bisa diproses lagi menjadi precursor yang menjadi bahan dasar material baterai.

"Dari bahan dasar baterai inilah dihasilkan baterai jenis lithium-ion battery," ungkapnya.

Apabila hilirisasi ini dilakukan secara berkelanjutan dan terintegrasi, maka akan mendukung kekuatan industri dalam negeri.

"Tanpa hilirisasi industri dalam negeri akan selalu bergantung pada impor bahan baku, sehingga sangat rapuh dan mudah goyah oleh faktor nonteknis dalam bentuk nilai tukar rupiah," kata Irwandy.

Neraca Nikel

Berdasarkan pemetaan Badan Geologi Kementerian ESDM pada Juli 2020, Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel sebesar 11.887 juta ton yang terdiri atas tereka 5.094 juta ton, terunjuk 5.094 juta ton, terukur 2.626 ton, dan hipotetik 228 juta ton. Kemudian cadangan bijih sebesar 4.346 juta ton, berupa terbukti 3.360 juta ton dan terkira 986 juta ton.

Sedangkan untuk total sumber daya logam mencapai 174 juta ton dan 68 juta ton cadangan logam.

"Area Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara punya potensi yang terbesar di Indonesia sampai dengan saat ini," kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono pada kesempatan yang sama.

Ia mengungkapkan kegiatan eksplorasi nikel harus terus berjalan agar Indonesia bisa lebih mandiri dalam produksi nikel.

Eko pun menegaskan melalui proses hilirisasi, maka bisa menambah nilai tambah bagi negara.

"Kami di Badan Geologi juga giat melakukan eksplorasi (nikel) ini untuk rekomendasi wilayah baru yang dilaporkan ke Ditjen Minerba sebagai wilayah usaha pertambangan. Potensi logam ikutan pada endapan nikel laterit perlu evaluasi dan identifikasi untuk bisa memanfaatkan nikel dengan lebih baik," ujar Eko.

Berdasarkan rekomendasi Badan Geologi, ia menjelaskan eksplorasi cebakan nikel lebih mudah diarahkan pada endapan mineral logam tipe laterit dibandingkan tipe primer karena potensinya lebih ekonomis. "Sejauh ini cadangan di laterit itu jauh lebih besar daripada yang primer," katanya.

Indonesia merupakan produsen bijih nikel terbesar di dunia pada 2019. Dari 2,67 juta ton produksi nikel di seluruh dunia, Indonesia memproduksi 800 ribu ton, jauh mengungguli Filipina 420 ribu ton Ni, Rusia 270 ton Ni, dan Kaledonia Baru 220 ribu ton Ni.