Tenun Donggala Belum Kantongi Hak Cipta

id tenun, donggala

Tenun Donggala Belum Kantongi Hak Cipta

Seorang penenun menggulung benang untuk industri rumah tangga kain tenun Donggala di Watusampu, Ulujadi, Palu. Kamis (13/6). Industri kain tenun Donggala khas Sulawesi Tengah itu sulit berkembang karena kesulitan modal usaha. Akses ke perbankan tidak dimungkinkan karena sejumlah syarat administrasi

"Harganya juga lebih mahal," katanya.
Palu (antarasulteng.com) - Sekretaris Asosiasi Tenun Donggala, Sulawesi Tengah, Imam Basuki, mengungkapkan bahwa hingga kini tenun Donggala belum mengantongi hak cipta atau hak atas kekayaan intelektual sehingga berpeluang dijiplak pihak lain.

"Bahkan sebagian bilang bahwa sarung Donggala motifnya banyak dijual di Pasar Turi, Surabaya," katanya di Palu, Jumat.

Dia mengatakan hak cipta tersebut penting karena hampir semua daerah memiliki tenun apalagi dengan berkembangnya alat tenun bukan mesin (ATBM) semakin gampang menjiplak tenun.

Meski tenun Donggala tercipta dari akar tradisi masyarakat lokal dan diakui dari sisi kebudayaan, akan tetapi hak cipta tetap penting sehingga tidak gampang ditiru pihak luar.

Ia khawatir jika permintaan pasar meningkat dan perajin tenun semakin menurun maka pengusaha bisa saja memasok barang dari luar.

"Ini yang harus kita antisipasi," katanya.

Menurut Imam, untuk produk tenun dari ATBM sangat banyak beredar di pasar, namun sebagai pembeda adalah motif dari kain tenun tersebut.

Untuk produksi tenun Donggala yang dihasilkan dari ATBM dibedakan atas motif bunganya atau bomba.

"Kalau variasinya sudah banyak. Makanya tidak heran kalau ada orang bilang sebagian motif tenun yang beredar di Palu sebagian sudah menggunakan motif Bali," katanya.

Namun untuk tenun asli Donggala yang dikenal dengan Buya Sabe (sarung sutera) sulit dijiplak karena proses pengerjaan, motifnya dan bahan bakunya masih kental dengan nilai-nilai tradisional.

"Cara pengerjaannya juga menggunakan alat tradisional (gedokan)," katanya.

Proses pengerjaannya pun butuh waktu lama. Untuk satu lembar sarung bisa dikerjakan sampai satu bulan dan mereka yang terlibat dalam pekerjaan ini umumnya orang tua.

"Harganya juga lebih mahal," katanya.

Imam yang juga pengusaha tenun Donggala itu mengatakan dari sisi permintaan kain tenun Donggala khususnya produk ATBM lumayan membaik tetapi jumlah perajin justru menurun.

Buktinya, dulu Imam Basuki memiliki sekitar 20 ATBM, namun belakangan ini tidak ada lagi karena perajin semakin sedikit yang berminat melirik kerajinan tersebut.

Hal inilah, kata dia, yang perlu diperhatikan pemerintah agar perajin terus bertambah sehingga kain tenun Donggala tetap eksis di tengah hebatnya gempuran industri tekstil pabrik. (A055/M026)