Profil - Idris Tinulele Bhaktikan Hidupnya Untuk Burung

id burung

Profil - Idris Tinulele Bhaktikan Hidupnya Untuk Burung

Ilustrasi (ANTARA)

Sejak masih kuliah, saya memang sudah mencintai alam. Saya terlibat aktif dalam kelompok pencinta alam
Palu, (antarasulteng.com) - Burung dan dunia satwa yang bisa terbang itu seolah telah menjadi jiwa bagi lelaki kelahiran Poso, Sulawesi Tengah pada 1 Januari 1972 ini.

Sudah sekitar 10 tahun ia mencemplungkan diri sebagai pencinta burung dan melakukan berbagai penelitian burung dan habitatnya di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).

"Sejak masih kuliah, saya memang sudah mencintai alam. Saya terlibat aktif dalam kelompok pencinta alam," kata sarjana Peternakan Universitas Tadulako (Untad) Palu tahun 2009 itu.

Ayah dua anak dari isterinya Novita Ade yang kini menetap di Wuasa, Ibu Kota Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, tersebut mengatakan tidak pernah mengharapkan penghargaan dari manapun, termasuk pemerintah atas pengabdiannya terhadap kelestarian burung.

Sebagai pencinta alam, ia sering sekali masuk-keluar hutan, khususnya di Kawasan Taman Nasional untuk melakukan penelitian terhadap flora dan fauna yang ada di dalam kawasan lindung tersebut.

Idris mengaku sangat tertarik pada burung. Setiap kali masuk hutan, ia melakukan penelitian dan pengamatan terhadap burung-burung yang ada dalam konservasi di Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso tersebut.

Pada awalnya hanya sebatas penelitian dan pengamatan untuk bahan lokakarya atau seminar. Namun seiring berjalannya waktu, kecintaan terhadap burung semakin merasuk hatinya.

"Sekarang, tandus rasanya hati ini kalau tidak masuk hutan atau mendengar suara burung dalam sehari saja," ujar Idris yang berdarah Maluku itu.

Ada beberapa kawasan di TNLL yang selami ini yang dia jadikan tempat pengamatan dan penelitian burung olehnya seperti di sekitar hutan Napu, Wuasa, Dodolo, Pakuli, Simoro, Saluki,Tuva, Lindu dan Danau Tambing.

Wilayah-wilayah tersebut merupakan surganya burung sehingga perlu tetap dijaga kelestarian hutan sebagai habitat satwa bersayap itu. Jika hutan tempat bermain dan berkembangbiaknya burung terus dijarah, burung-burung pasti akan hijrah ke wilayah lainnya.

"Jika hal itu benar-benar terjadi, bukan hanya pemerintah yang rugi besar, tetapi juga masyarakat di sekitarnya," kata Idris.

Karena itu iapun kini gencar melakukan kampanye-kampanye agar masyarakat di sekitar kawasan tidak lagi melakukan perambahan hutan atau perburuan terhadap satwa, termasuk burung.

Kampanye mulai gencar dilakukan sejak tahun 2000 meski tidak didukung dana dari pemerintah, termasuk Balai Besar TNLL. Bantuan yang pernah ia terima selama ini hanya dari TNC (The Nature Conservancy) sekitar 2005-2006.

Dana tersebut digunakan untuk mendukung kegiatan kampanye dan juga biaya penulisan dan penerbitan buku. Tetapi sejak TNC angkat kaki dari Sulteng pada 9 Juli 2012, tidak ada lagi sumber dana yang menopang kegiatan kampanye dan penelitian serta pengamatan burung di Kawasan TNLL.

"Sejak saat itu saya mencari dana sendiri untuk bisa mendukung aktivitas saya dengan menjadi seorang pemandu wisata di Desa Wuasa," katanya.

Ia enggan merinci pendapatannya itu dan mengatakan bahwa cukup lumayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga untuk kegiatan kampanye lingkungan hidup khususnya penyelamatan khususnya burung dan habitatnya.

"Syukurlah apa yang saya lakukan itu, ternyata mendapat sambutan positif dari masyarakat," kata dia dan menambahkan, masyarakat semakin tumbuh kesadaran mereka untuk mengamankan kawasan hutan lindung dari berbagai gangguan.

Iapun kemudian menulis sebuah buku berjudul "Mengenal Burung Di Taman Nasional Lore Lindu" yang diluncurkan pada 19 Juni 2008 bertempat di ruang pertemuan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu.

Buku itu merupakan hasil penelitian dan pengamatannya selama bertahun-tahun terhadap burung-burung yang ada di TNLL.

Suara burung

Karena begitu lamanya ia `bergaul` dengan burung, Idris pun kini bisa meniru sekitar 20 suara burung di Kawasan TNLL.

"Begitu ia meniru suara burung, maka burung-burungpun datang mendekat kepadanya. Ini merupakan anugerah dari Tuhan. Saya bisa meniru suara burung karena sering mendengarkan suara mereka," katanya.

Aktivis yang tidak pernah kenal lelah mengampanyekan burung yang ada di Kawasan TNLL mengatakan ingin sekali menerbitkan kembali sebuah buku tentang burung yang ada di seluruh pulau Sulawesi.

"Saya ingin sekali menulis buku lagi, hanya saja terkendala soal peralatan, terutama (kamera) dan juga biaya lainnya cukup mahal," kata Idris.

Hasil penelitian dan pengamatannya menemukan ada sekitar 265 jenis burung yang hidup dan berkembangbiak di TNLL. Berbagai jenis burung yang selama ini bisa dijumpai di TNLL antara lain elang, kakatua, nuri, maleo atau maleo senkawor (macrocephalon maleo), gagak (corvus unicolor), kakatua kecil jambul Kuning (cacatua sulphurea), kacamata (zosterops nehrkorni), madu (aethopyga duyvenbodei), burung elangg bondol, rangkong, alo, jalak tunggir merah (scissirostrum dubium ), dan burung kipasan Sulawesi (rhipidura teysmann).

Ini salah satu daya tarik tersendiri bagi para wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kawasan TNLL.

Harapan lainnya adalah pemerintah membuat aturan soal perlindungan terhadap burung agar tidak ada lagi gangguan seperti perburuan dan juga penebangan pohon di dalam Kawasan TNLL sehingga burung dengan bebas dapat terbang dari satu pohon ke pohon lainnya serta berkembangbiak secara besar-besaran.

Pemerintah juga harus tegas menindak masyarakat yang mengganggu hutan dan habitat satwa, termasuk burung yang ada di TNLL.

TNLL bukan hanya kawasan hutan lindung tetapi juga tempat wisata dan penelitian-penelitian ilmiah dari mahasiswa dalam maupun luar negeri yang penting dan menarik.

TNLL ditetapkan sebagai Cagar Biofir oleh UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization) pada 1977.

Luas Kawasan TNLL sekitar 217.000 hektare, sebagian wilayah masuk dalam Pemerintahan Kabupaten Poso dan sebagian lagi Kabupaten Konservasi Sigi. (skd)