Akankah kekerasan perempuan berakhir?

id kekerasan perempuan,kesetaraan gender,perdagangan perempuan

Akankah kekerasan perempuan berakhir?

Warga yang tergabung dalam Komunitas Nurani Perempuan Women's Crisis Center (NPWCC) berkampanye mendorong pemerintah dan DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual . (Antara/Arif Pribadi)

Jakarta (ANTARA) - Publik di Ibu Kota, khususnya Jakarta Barat, pada Agustus 2020 dikejutkan dengan berita seorang gadis berinisial F, asal Cengkareng yang masih berusia 13 tahun dibawa kabur oleh kekasihnya berinisial W berusia 41 tahun.

Persoalannya, F yang putus sekolah ini ternyata memilih kabur bersama-sama kekasihnya tersebut tanpa paksaan, bahkan sudah melahirkan anak dari hasil hubungannya selama ini.

Polisi dalam kasus tersebut berhasil menangkap pelaku yang telah memperdayakan F tersebut, serta terungkap ternyata F menurut pengakuannya kerap mengalami kekerasan selama dalam pelarian bersama W.

Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya menimpa F, namun masih banyak gadis-gadis lain dengan berbagai kasus yang berbeda.

Data yang dirilis Komnas Perempuan pada 2019 dan diluncurkan pada tahun ini bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional Maret lalu menunjukkan, kasus kekerasan terhadap perempuan yang terlaporkan sebanyak 431.471 kasus, meningkat enam persen dari tahun sebelumnya sebanyak 406.178 kasus.

Data ini menunjukkan bahwa di ranah pribadi dilaporkan kekerasan seksual sebanyak 2.988 kasus (31%) sedangkan di ranah publik atau komunitas ada 64% kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan seksual.

Sementara total kekerasan berbasis gender online (KBGO) sebanyak 354 kasus sepanjang Januari-Mei 2020 di semua ranah.

Jumlah ini sudah lebih banyak dari total laporan pada 2019, yaitu sebanyak 281 kasus. Jenis kekerasan seksual terbanyak di ranah ini adalah ancaman penyebaran foto/video porno (revenge porn) sebanyak 81 laporan, sejak maraknya kegiatan daring di masa pandemi ini.

Timpang

Menurut Rutgers World Population Foundation (WPF) Indonesia selaku Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan, masih adanya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan konsekuensi dari hubungan yang timpang antara lelaki dan perempuan.

Rutgers WPF Indonesia merupakan lembaga non-profit atau NGO yang bekerja di Indonesia sejak 1997 untuk isu Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta pencegahan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS).
 
Peserta aksi mengikuti acara peringatan Hari Perempuan Sedunia di Jalan M.H Thamrin, Jakarta, Minggu (8/3/2020). Dalam aksi tersebut mereka menuntut pentingnya perubahan sistemik untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww. (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA)

Sampai saat ini masih ada anggapan di masyarakat yang menganggap perempuan ditempatkan sebagai subordinat (bawahan) dari laki-laki.

Ingrid Irawati selaku Sexual and Gender Based Violence (SGBV)  PV Rutgers WPF Indonesia mengistilahkan hal itu sebagai kekerasan berbasis gender (KBG) yang cakupannya lebih luas, namun berakar dari ketidaksetaraan sehingga memunculkan kekerasan tersebut.

Di Indonesia yang masih kental dengan kultur patriarki, lelaki umumnya memiliki kontrol dan kuasa terhadap anggota keluarga yang lain. Konstruksi sosial yang lekat dengan budaya patriarki pula yang melanggengkan kekerasan berbasis gender.

Minimnya keterlibatan laki-laki dalam upaya pencegahan kekerasan berbasis gender merupakan salah satu faktor yang membutuhkan perhatian lebih karena sebagian besar program-program yang berkembang selama ini masih berfokus pada pemberdayaan perempuan dan belum cukup menyasar akar persoalannya, yaitu norma dan relasi gender laki-laki dan perempuan.

Ingrid menjelaskan pihaknya memiliki program kesetaraan dan penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan diantaranya dengan meningkatkan partisipasi perempuan terhadap ekonomi.

Program ini, menurut Inggrid juga melibatkan peran laki-laki sebagai agen perubahan mengingat kesetaraan gender tidak dapat dicapai tanpa melibatkan laki-laki. Setidaknya dengan melibatkan laki-laki dan perempuan soal kesetaraan ini dapat teredukasi dengan baik serta mencegah terjadinya kekerasan.

Program tersebut, jelas Ingrid meliputi diskusi komunitas, konseling, kampanye, serta melakukan advokasi sampai ke desa-desa.

Terlibat

Selama ini setiap terjadi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, masih belum banyak laki-laki yang terlibat setidaknya menyuarakan ketidaksetujuannya.

Hal itu terjadi karena selama ini memang belum tersedianya ruang atau wadah untuk bersikap.

Sofiyan Hd, Manajer Umum Lembaga Advokasi Perempuan, DAMAR mengakui sebenarnya banyak laki-laki yang tergerak untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, namun sejauh ini belum terwadahi.

Selama ini ada banyak laki-laki yang tidak setuju dengan kekerasan terhadap perempuan tetapi karena tidak tersedianya ruang bagi mereka untuk mendapatkan informasi dan wadah untuk bersikap ketika kasus itu terjadi, ujarnya.

Dengan adanya program ini diharapkan semakin banyak laki-laki yang terlibat sebagai agen perubahan mewujudkan kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan seksual di Indonesia karena sesungguhnya patriarki tidak hanya mengancam perempuan, tetapi juga laki-laki dengan segala kekuasaan, keistimewaan, dan permisif yang dimiliki.

Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan juga semakin tinggi di masa pandemi sebagian besar disebabkan karena faktor ekonomi.

Sekalipun sudah tersedia jaring pengaman sosial namun persoalan itu masih muncul tidak hanya di daerah tetapi juga kota-kota besar termasuk Jakarta.

Kondisi ini menunjukkan bantuan fisik bukan semata-semata bisa mengurangi kekerasan terhadap perempuan. Perlu pendekatan psikologi dan sosial untuk memperlihatkan apa yang telah dilakukan tersebut merupakan perilaku yang salah.

Banyak masyarakat yang belum menyadari terutama dari kalangan remaja bahwa apa yang telah dilakukannya itu merupakan kekerasan. Di sini lah peran pemuka agama dan tokoh masyarakat untuk memberikan kesadaran terhadap remaja agar jangan sampai salah arah.

Pendidikan agama di sekolah seharusnya dapat memberikan kesadaran terhadap anak-anak untuk mencegah terjadinya kekerasan. Namun pelajaran sebenarnya adalah praktik di lapangan, saat anak-anak itu bersosialisasi dengan keluarga serta masyarakat.
 
Patut juga diingat berdasarkan pengalaman kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, peran teknologi juga menjadi faktor pendorong.

Mudahnya masyarakat mengakses laman-laman dunia maya kalau tanpa saringan yang memadai akan membuat ikut-ikutan dalam budaya kekerasan.

Agaknya banyak faktor yang memunculkan kekerasan terhadap perempuan mulai dari kurangnya pendidikan dan pesatnya teknologi digital.

Namun, tampaknya, semua itu sebenarnya dapat dicegah melalui peran lingkungan dan keluarga terutama untuk memberikan arah yang positif.