Nikmat Dibalik Larangan Ekspor Mineral Mentah

id smelter

Nikmat Dibalik Larangan Ekspor Mineral Mentah

Ilustrasi--Pengolahan pertambangan (antaranews)

Ini `stop` (ekspor bahan mentah), nggak boleh. Harus ada nilai tambah untuk daerah dan untuk lingkungan daerah
Palu, (antarasulteng.com) - Ketika banyak pihak mengecam keputusan pemerintah yang melarang ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014, Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola dengan optimisme mengatakan "ini kebijaksaan bagus untuk memajukan ekonomi daerah dan Indonesia ke depan".

Pada saat larangan itu diambil pemerintah berdasarkan amanat UU No. 4 Tahun 2009 tentang ekspor mineral dan batu bara, Sulawesi Tengah sedang mengalami "booming" ekspor nikel mentah (ore). Komoditas ini memberikan kontribusi sekitar 80 persen dari penghasilan devisa daerah setiap tahun.

Jadi wajarlah kalau Pemprov Sulteng sempat galau dan memprediksi pertumbuhan ekonomi daerah yang selama beberapa tahun terakhir berada di atas angka sembilan persen tiap tahun, akan anjlok sampai di bawah lima persen pada 2014.

Namun pada kenyataannya, pertumbuhan ekonomi 2014 bisa dipertahankan pada tingkat 5,11 persen, masih di atas pertumbuhan ekonomi nasional 5,02 persen.

Salah satu kontributor signifikan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi Sulteng pada 2014 tersebut adalah dimulainya pembangunan pabrik pengolahan (smelter) nikel di kawasan Industri Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, oleh PT. Sulawesi Mining Investment, sebuah perusahaan patungan Bintang Delapan Group dan Tshingshan dari Tiongkok.

Menurut data yang dirilis Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Sulawesi Tengah, ada tiga unit "smelter" nikel yang akan menghasilkan produk jenis "pig-iron" dan baja tahan karat (stainless-steel) yang telah, sedang dan akan dibangun PT. SMI di Morowali.

Smelter unit I bernilai investasi 320 juta dolar AS atau sekitar Rp4 triliun berkapasitas 300.000 ton mulai dibangun pertengahan 2014. Pabrik ini telah diremikan pengoperasiannya oleh Presiden Joko Widodo pada Jumat (29/5), dan akan mulai mengekspor nikel sejenis fefronikel ke Tiongkok pada Juni 2015.

Sementara itu, smelter Unit II bernilai 640 juta dolar AS atau sekitar Rp8 triliun berkapasitas 600.000 ton sedang dalam tahap konstruksi dan diharapkan bisa beroperasi awal 2016.

Sedangkan smelter Unit III bernilai 820 juta Dolar AS atau sekitar Rp10,2 triliun akan memproduksi 300.000 ton ferronikel per tahun dan baja tahna karat (stainless steel slab) 1.000.000 ton per tahun akan dibangun awal 2016 dan beroperasi pada 2017.

Keseluruhan smelter ini juga akan dilengkapi dengan pembangkit listrik tenaga uap (berbahan bakar batu bara) yang secara total nantinya akan berkapasitas sekitar 700-an megawatt.

Menurut catatan Kementerian Perindustrian, smelter di Morowali ini akan menjadi pabrik pengolahan nikel terbesar di Indonesia dari sekitar tujuh smelter yang akan beroperasi pada 2015.

"Ini membanggakan sekali, karena dengan menggeliatnya pembangunan smelter nikel di Morowali, kami berharap pertumbuhan ekonomi Sulteng tahun 2015 ini akan mencapai dua digit (10 persen ke atas)," kata Gubernur Sulteng Longki Djanggola.

Menteri Peirndustrian Saleh Husin mengatakan pabrik ini merupakan implementasi dari UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta UU No. 3/2014 tentang Perindustrian yang mengamanatkan dunia untuk meningkatkan nilai tambah bagi produk-produk primer.

Pabrik ini juga merupakan realisasi hilirisasi pertambangan yang akan mendongkrak nilai tambah hasil tambang dan menyedot investasi asing, dan menciptakan lapangan kerja baru.

"Saat ini jumlah tenaga kerja langsung di smelter Morowali sebanyak 5.000 orang. Pada 2017 setelah unit produksi beroperasi, tenaga kerja akan menjadi 12.000 orang," paparnya.


Stop ekspor bahan mentah

Presiden Joko Widodo usai menandatangani prasasti peresmian smelter unit I PT. SMI di Bahodopi, Jumat (29/5) kembali menegaskan kepada semua pihak terkait akan menghentikan ekspor bahan mentah hasil pertambangan dan produk-produk industri primer.

"Ini `stop` (ekspor bahan mentah), nggak boleh. Harus ada nilai tambah untuk daerah dan untuk lingkungan daerah," tukas Presiden Jokowi yang antara lain disampingi Menko PMK Puan Maharani, Menteri Perindustrian Saleh Husin, Gubernur Sulteng Longki Djanggola, Bupati Morowali Anwar Hafid serta Direksi PT. SMI dan Bintang Delapan Group.

Ia kemudian membandingkan keuntungan yang didapat dari pengiriman bahan setengah jadi. Jika masih berbentuk bahan mentah (ore), harganya hanya 30 dolar AS per metrik ton. Kalau diekspor dalam bentuk setengah jadi seperti ferronikel, harganya naik jadi 1.300 dolar AS per metrik ton.

"Kalau diekspor dalam bentuk baja tahan karat (stainless-steel), harganya bisa naik lain hingga 2.400 dolar AS per metrik ton. Jadi nilai tambah yang dihasilkan besar sekali," ujar Jokowi.

Manfaat berganda lainnya akan muncul karena akan timbul industri kecil-kecil lainnya yang berdampak langsung terhadap masyarakat sekitar, misalnya, pasokan sayur ke lingkungan industri, telur dan daging ayam.

"Jadi usaha kecil akan tumbuh, bisa masuk jadi subkontraktor di sini, uang beredar akan semakin besar, jadi ekonomi tidak hanya tergantung pada APBD dan APBN," tutur Presiden Jokowi mengulas secara panjang lebar soal dampak industrialisasi seperti ini.

Menteri Perindustrian Saleh Husin menjelaskan bahwa kementerian yang dipimpinnya akan memberikan dukungan dan fasilitas berupa pembangunan Politeknik Industri Berbasis Nikel, pembangunan Pusat Inovasi Industri berbasis Nikel, Pembangunan Kawasan Industri dan memfasilitasi usulan kepada Kementerian Keuangan agar PT. Sulawesi Mining Investment ini dapat memperoleh fasilitas `tax holiday` yakni bebas membayar pajak dalam jangka waktu tertentu.

Gubernur Sulteng Longki Djanggola mengemukakan bahwa Presiden Joko Widodo juga memerintahkan Menteri Perhubungan untuk menambah dana pembangunan Bandar Udara Morowali untuk mendukung kelancaran pengembangan kawasan industri Bahodopi.

"Beliau menjanjikan akan menyelesaikan pembangunan bandara Morowali. Presiden menjanjikan akan menambah panjang landasan Bandara Morowali dari sebelumnya 1.300 meter menjadi 1.850 meter supaya bisa didarati pesawat berbadan lebar," ungkap Longki, setelah mendampingi Presiden Joko Widodo dalam peresmian smelter nikel Morowali tersebut.

Infrastruktur bandara tersebut sangat menunjang kelancaran distribusi barang dan jasa dari dan ke daerah Morowali. Apalagi, jalan darat ke Morowali, baik dari Kota Palu (Sulteng), maupun Kendari (Sultra) terlalu panjang (jauh) dengan kondisi jalan rasaya yang masih kurang baik.

Selain menjanjikan penambahan bandara, Presiden juga menjanjikan pembangunan irigasi dan sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, karena "smelter" yang diresmikan tersebut diperkirakan bakal menyerap puluhan ribu tenaga kerja.

"Tadi Pak Presiden sangat senang karena ternyata investor nikel di Morowali itu sangat serius menanam modalnya. Ini juga sangat menggembirakan pemerintah provinsi dan menguntungkan masyarakat daerah ini," ujar Longki Djanggola. (skd)