Nasyiah Usulkan Tiga Agenda Pada Mukhtamar Aisyiyah

id Nasyiatul, Aisyiyah

Nasyiah Usulkan Tiga Agenda Pada Mukhtamar Aisyiyah

Nasyiatul Aisyiyah (Nasyiah) (muhammadiyah.or.id)

Makassar,  (antarasulteng.com) - Ketua Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (Nasyiah) Sulawesi selatan Eka Damayanti mengusulkan tiga agenda untuk dibahas dalam Muktamar Satu Abad Aisyiyah.

"Perhelatan ini akan dilaksanakan di Makassar, 3-7 Agustus 2015. Tema besar yang diusung Aisyiyah dalam muktamar, 'Gerakan Perempuan Muslim untuk Indonesia Berkemajuan'," kata Eka Damayanti di Makassar, Minggu.

Menurut Eka, salah satu alasan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, mendapatkan gelar pahlawan nasional karena menjadi salah satu pelopor emansipasi perempuan di Indonesia.

 Gagasan emansipasi Kiai Dahlan, dengan mendirikan organisasi perempuan muslim yang kini usianya telah mencapai satu abad. "Kita patut bersyukur, namun kita tak boleh berhenti," katanya.

"Kita harus terus melangkah. Untuk mendorong agar kiprah Aisyiyah makin berkibar setelah satu abad kelahirannya," kata Dosen UIN Alauddin ini.

Menurut Eka, pihaknya mengusulkan tiga agenda yang perlu menjadi prioritas Aisyiyah.

Pertama, `Aisyiyah perlu melakukan rekonstruksi dan reinterpretasi pandangan keagamaan yang bias gender. "Ini isu sensitif, tapi Aisyiyah mesti berani melakukannya," katanya.

Misalnya soal kepemimpinan perempuan, poligami, bahkan sampai tema asal-usul penciptaan manusia, masih didominasi tafsir yang bias jender.

Kedua, Aisyiyah perlu membangun gerakan politik perempuan. Lemahnya posisi tawar kaum perempuan disebabkan kesadaran dan pengetahuan politik yang lemah, 

Gerakan politik tidak selalu harus berorientasi kedudukan atau posisi politik. Yang lebih penting adalah kesadaran bahwa sebagai perempuan, dia memiliki kekuatan politik saat berhadapan dengan suatu otoritas, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, atau negara.

Ketiga, Aisyiyah perlu secara lebih serius terlibat dalam advokasi kekerasan terhadap perempuan, baik yang bersifat pencegahan maupun pendampingan korban kekerasan.

Salah satu akar masalahnya, akibat pandangan keagamaan bias jender, kaum perempuan muslim yang menjadi korban kekerasan. Sementara, peran lembaga keagamaan masih sangat minim, bahkan bisa disebut belum ada sama sekali, kata Magister Psikologi UGM ini. (skd)