Oknum ASN jadi tersangka pemalsuan surat tanah di Lombok Barat

id sppt pbb,oknum asn,polda ntb,penetapan tersangka,pemalsuan surat

Oknum ASN jadi tersangka pemalsuan surat tanah di Lombok Barat

Kuasa hukum korban pemalsuan surat jual beli tanah seluas 6,37 hektare di Gili Sudak, Hendra Prawira Sanjaya (kanan) memberikan keterangan pers usai menerima surat pemberitahuan penetapan tersangka di Polda NTB, Senin (7/6/2021). (ANTARA/Dhimas B.P.)

Mataram (ANTARA) - Seorang oknum aparatur sipil negara (ASN) di lingkup Pemerintah Kabupaten Lombok Barat ditetapkan oleh penyidik kepolisian sebagai tersangka pemalsuan surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) untuk tanah seluas 6,37 hektare di Gili Sudak.

Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB Kombes Pol Hari Brata di Mataram, Senin, mengatakan, penyidik menetapkan oknum ASN berinisial LS tersebut sebagai tersangka yang melanggar Pasal 263 KUHP Ayat 1 dan Ayat 2 Juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 dan Ke-2 KUHP.

"Dia (oknum ASN) kita tetapkan sebagai tersangka bersama seseorang yang berperan sebagai makelar tanah berinisial MM," ungkap Hari.

Dari hasil gelar perkara, jelas Hari, kedua tersangka terindikasi melakukan pemufakatan jahat yakni mengklaim tanah milik orang lain dengan modus penerbitan SPPT ganda atas lahan tersebut.

Lebih lanjut, Hari mengatakan peran tersangka yang muncul dari hasil gelar perkara pada pekan lalu itu mengarah ke penahanan. Kepastian penahanannya masih menunggu progres dari penyidik yang lebih dulu mengagendakan pemeriksaan terhadap kedua tersangka.

"Jadi untuk penahanan atau tidaknya, itu nantinya kewenangan penyidik. Agendanya, akan dipanggil dulu untuk diperiksa sebagai tersangka," ujarnya.

Terkait munculnya penetapan tersangka ini, korban bernama Debora Sutanto melalui kuasa hukumnya, Hendra Prawira Sanjaya memberikan apresiasi terhadap kemajuan dari penanganan kasus yang menimpa kliennya ini.

Dari kasus ini, Hendra berharap kepada pemerintah agar bisa mengambil hikmahnya. Lebih khusus terhadap penerbitan akta tanah.

"Semoga dari kasus ini nantinya, tidak ada lagi peran mafia tanah," ucap Hendra berharap.

Kasus yang dilaporkan kliennya sejak akhir tahun 2019 itu dijelaskan, terkait pembelian tanah seluas 0,98 hektare di Gili Sudak, pulau kecil yang menjadi salah satu destinasi wisata andalan di wilayah Sekotong, Kabupaten Lombok Barat.

Dari penelusuran tim-nya di lapangan, Hendra menjelaskan bahwa orang tua tersangka MM yakni Mahsun awalnya diamanahkan oleh pemilik lahan bernama Daeng Kasim untuk menjual tanah miliknya seluas 6,37 hektare.

Agar mempermudah proses jual belinya, Mahsun menawarkan kepada salah seorang ahli waris lahan, Samsudin, anak dari Daeng Kasim untuk membuat surat pernyataan jual beli fiktif. Samsudin pun sepakat dan Mahsun mendapat kuasa penuh dari ahli waris untuk menjualkan tanah seluas 6,37 hektare.

"Jadi Mahsun, si orang tua tersangka ini makelar tanah yang statusnya hanya dimintai tolong oleh pemilik lahan untuk jualkan tanah, jadi bukan sebagai pembeli," ujarnya.

Namun, sejak mendapat kuasa sebagai penjual lahan, tanah itu tidak pernah laku. Hingga akhirnya Samsudin yang berinisiatif lebih dulu menjualnya kepada lima orang pembeli dengan luas 5 hektare dari total 6,37 hektare.

Sertifikat tanah induknya pun dipecah hingga terbit lima sertifikat baru untuk luas 5 hektare di tahun 1980. Salah satu lahan seluas 0,98 hektare dengan sertifikat hak milik (SHM) Nomor 1306 dibeli oleh tangan pertama Lalu Taufikurahman.

Sebelum akhirnya lahan tersebut dibeli kliennya, lanjut Hendra, Lalu Taufikurahman pada tahun 2001 menjualnya kepada Bitsu. Kemudian dijual kembali oleh Bitsu kepada Emytha Dwina di tahun 2012.

"Jadi klien kami ini belinya dari Emytha di tahun 2015. Pembeliannya dikuatkan dengan adanya akta jual beli nomor 316/2015," ucap dia.

Kemudian munculnya kasus yang diperankan oleh kedua tersangka terjadi pada tahun 2018, ketika kliennya mengajukan penerbitan SPPT ke Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Lombok Barat untuk nama pribadi-nya.

Tersangka MM yang mengetahui adanya pengajuan tersebut, jelas Hendra, ikut mengajukan pembetulan SPPT ke Dispenda Lombok Barat untuk nama pribadi-nya. Pembetulan SPPT itu pun dibantu oleh LS yang ketika itu bertugas di bagian pelayanan Dispenda Lombok Barat.

"Jadi SPPT untuk PBB (pajak bumi dan bangunan) itu tercetak dan terbayarkan ganda (rangkap dua) yang semestinya tidak dibolehkan. SPPT itu yang kemudian dipakai MM sebagai alat bukti untuk gugatan perkara perdata di pengadilan, padahal bukti itu palsu," kata Hendra.