Pemkab Parigi Moutong ajak masyarakat berperan hentikan kekerasan anak

id Kekerasan anak, kelompok rentan, anak, dp3a, DP3AP2K, pemkabparimo, Yusnaeni, Sulteng, hak anak

Pemkab Parigi Moutong  ajak masyarakat berperan hentikan kekerasan anak

Ilustrasi- Sejumlah anak mengikuti kegiatan belajar terbuka dalam program Ruang Kreativitas Anak di Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (6/6/2021). Program belajar gratis bagi anak-anak yang diinisiasi komunitas "Bergerak dari Palu" itu telah berlangsung sejak 2015 dan tahun ini akan menyasar sejumlah tempat lagi dan akan merekrut sekitar 700 orang tenaga relawan terampil berbagai bidang. ANTARA Sulteng/Basri Marzuki

Parigi, Sulteng (ANTARA) -
Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, mengajak elemen masyarakat agar turut serta berperan aktif menghentikan bentuk kekerasan terhadap anak.
 
"Kasus kekerasan perempuan dan anak masih sering terjadi di kehidupan sosial yang dipengaruhi sejumlah faktor. Oleh karenanya, masyarakat memiliki peran strategis dalam meminimalisasi risiko itu," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2K) Parigi Moutong Yusnaeni, di Parigi, Minggu.
 
Menurut dia, semestinya publik harus terbuka dan menjaga kerentanan-kerentanan yang justru dapat memicu timbulnya kekerasan, salah satu contoh di lingkungan keluarga perlunya menerapkan literasi dan membudayakan sikap ramah terhadap anak.

Selain itu, katanya, masyarakat perlu memenuhi kebutuhan dan hak-hak dasar anak, seperti hak bermain, hak asuh, hak mendapat pendidikan formal, termasuk tidak mempekerjakan anak usia sekolah.

"Menjaga kelompok rentan dari aksi kekerasan dan perdagangan orang menjadi tanggung jawab bersama, sehingga dibutuhkan kolaborasi pemerintah, kepolisian, pemangku kepentingan dan para pihak lainnya," tutur Yusnaeni.
 
Berdasarkan data DP3AP2K, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Parigi Moutong cenderung mengalami penurunan di Tahun 2020, yakni 66 kasus dibandingkan Tahun 2019 terdapat 82 kasus.
 
Meski angka kekerasan fisik turun, menurut dua, kasus asusila atau pelecehan seksual justru meningkat dalam dua tahun terakhir, dari 2019 terdapat 19 kasus, lalu di Tahun 2020 meningkat menjadi 28 kasus.

"Faktor-faktor pemicu kekerasan, di antaranya masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang kekerasan, kemudian belum adanya sinergitas layanan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan serta rendahnya tingkat ketahanan keluarga dalam rangka pencegahan," ujarnya.
 
Karena itu, kata dia, masyarakat tidak perlu ragu memberikan jaminan perlindungan hak-kah kelompok karena secara aturan, pemerintah telah mengeluarkan produk hukum melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Kemudian, ada Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal bidang Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.
 
"Artinya, legitimasi dalam memberikan perlindungan hukum terhadap kelompok rentan sudah jelas. Peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam membantu pemerintah mencegah dan mengurangi risiko kerentanan kekerasan," demikian Yusnaeni.