Ekonomi Sulteng tahun 2022 diproyeksi tumbuh di atas 9 persen

id Sulteng,Sandi,Palu,Ppkm,BI

Ekonomi Sulteng tahun 2022 diproyeksi  tumbuh di atas 9 persen

Petani memisahkan jagung dengan kulitnya usai dipanen, di Desa Kaleke, Sigi, Sulawesi Tengah, Minggu (7/11/2021). Setelah sempat turun tipis di Rp6.500 per kilogram, harga jagung pipilan di tingkat petani kembali naik menjadi rata-rata Rp7.500 per kilogram karena tingginya permintaan. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/hp.

Palu (ANTARA) - Bank Indonesia (BI) memproyeksikan ekonomi Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) tahun 2022 tumbuh pada kisaran 9,7 persen hingga 10,7 persen (yoy).

Ada beberapa faktor yang menopang dan mendorong ekonomi Sulteng tahun 2022 diyakini tumbuh pada kisaran angka tersebut.

"Secara umum, faktor penopang pertumbuhan ekonomi Sulteng tahun 2022 adalah tren membaiknya kondisi ekonomi global setelah dilanda pandemi COVID-19," kata Kepala Kantor Perwakilan BI Sulteng M Abdul Majid Ikram di Palu, Rabu.

Kemudian, kata Majid, positifnya kinerja ekspor daerah, peningkatan investasi langsung serta perbaikan konsumsi rumah tangga. Peningkatan ekspor berasal dari penambahan kapasitas produksi.

"Kemudia realisasi komitmen pembangunan di kawasan industri di Kabupaten Morowali, Morowali Utara dan Kawasan Ekonomi Khusu (KEK) di Kota Palu akan mendorong peningkatan investasi. Peningkatan konsumsi rumah tangga sejalan dengan peningkatan tingkat vaksinasi," ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, BI optimis inflasi Sulteng tahun 2022 dapat dikendalikan dan terjaga pada kisaran 3 plus 1 persen (yoy).

"Dari sisi inflasi core atau inflasi inti, perlu diantisipasi tingginya optimisme ekspektasi terhadap tingkat pendapatan pada tahun 2022," katanya.

Di samping itu faktor gangguan rantai pasok global sepanjang tahun 2021 juga berpotensi berlanjut hingga tahun 2022.

Sementara itu, dari sisi volatile foods atau makanan yang mudah menguap, tantangan terbesar berasal dari potensi gangguan produksi akibat masih berlangsungnya perbaikan sarana dan prasarana penunjang produksi pertanian serta adanya perubahan iklim.

"Kemudian pada kelompok administered price atau harga yang diatur, risiko tekanan yang berasal dari tren kenaikan harga minyak mentah global dan kenaikan cukai rokok," ucapnya.

Menghadapi tantangan yang tidak mudah tersebut, Majid mengatakan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) perlu melakukan langkah-langkah antisipatif khususnya dalam menjaga ketersediaan stok pangan.

"Untuk itu sinergi menjadi kata kunci dalam mengendalikan inflasi," tambahnya.