ROA: Implementasi Perhutanan Sosial Sulteng Hanya Mimpi

id roa

Skema perhutanan sosial dengan tiga model tersebut yang dicanangkan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat lewat pengelolaan hutan, sama sekali tidak adanya wujudnya
Palu, 3/3 (Antara) - Relawan untuk Orang dan Alam (ROA) Sulawesi Tengah menilai implementasi skema perhutanan sosial melalui Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, dan Hutan Tanaman Rakyat untuk mendorong kesejahteraan masyarakat di daerah ini masih sebatas mimpi para birokratnya.

"Skema perhutanan sosial dengan tiga model tersebut yang dicanangkan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat lewat pengelolaan hutan, sama sekali tidak adanya wujudnya," kata Gifvents, Kepala Riset & Kampanye ROA, di Palu, Kamis.

Gifvents menyebutkan perhutanan sosial dengan menggunakan tiga model hutan tersebut lebih menguntungkan pihak-pihak tertentu lewat proyek sosial yang mereka dorong dalam pengelolaan hutan.

Menurut dia, hal itu terjadi karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi, di antaranya kelemahan peran dinas terkait di tingkat kabupaten, provinsi, dan lembaga perwakilan kementerian yang mengurusi kawasan hutan di Sulawesi Tengah.

Bahkan lembaga pemerintah seperti Dinas Kehutanan provinsi dan kabupaten, serta lembaga perwakilan Kementerian Kehutanan di daerah tersebut tidak maksimal serta tidak saling berkoordinasi dalam pengawasan sesuai dengan fungsinya.

Akibatnya program penyelamatan dan pemberdaayaan masyarakat di kawasan hutan yang dijamin dalam undang-undang tidak dapat terlaksana dengan baik, karena kelemahan dalam fungsi tersebut.

Parahnya lagi, lanjut dia, pemerintah lewat para pemangku kepentingan tidak menunjukkan keseriusan dalam sosialisasi dan pendampingan yang dilakukan untuk pemenuhan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan hutan.

"Ada fakta yang kami temukan di lapangan terkait dengan pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat, dengan tiga model pengelolaan hutan tersebut, yaitu adanya unsur meraih keuntungan dengan menjadikan korban," kata dia lagi.

Hal itu menurutnya, terjadi di Desa Baku Bakulu Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi, dengan masyarakat menyatakan sebagian wilayah hutan di desanya masuk dalam KPH Dolago Tanggunu.

Kondisi itu berujung pada tarik ulur antara kelompok HKm dan kelompok masyarakat yang sudah menanam pohon melalui KPH, padahal tujuannya sama.

Masalah lain yang timbul, yakni sebagian masyarakat pengelola HKm sudah menjual tanahnya kepada orang luar desa, dikarenakan pemahaman bahwa HKm tersebut adalah program bagi-bagi tanah.

"Hal itu terjadi akibat minim sosialisasi dan pendampingan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan lewat perwakilannya di daerah," ujarnya pula.

Ia juga mengungkapkan bahwa masyarakat sulit untuk mendapatkan informasi mengenai hutan di desa mereka, bahkan masyarakat ditolak oleh perwakilan Kementerian Kehutanan di daerah saat meminta mendapatrkan informasi kehutanan.

"Pada 14 Januari 2016, dua warga Desa Baku-bakulu yang meminta informasi ke salah satu lembaga perwakilan Kementerian Kehutanan di Sulteng, terkait perkembangan HKm di desanya," katanya pula.

Namun mereka ditolak dengan alasan lembaga tersebut memiliki aturan tersendiri dalam pengelolaan informasi, dan tidak bisa dibuka begitu saja.

Padahal permintaan informasi yang dilayangkan sudah sesuai prosedur yang diatur dalam UU KIP No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, ujarnya lagi.

Gifvents menilai kelemahan komitmen pemerintah tersebut dapat menghambat implementasi skema perhutanan sosial di Sulawesi Tengah.

"Saat ini sudah lima tahun masyarakat pada enam desa dan empat kecamatan di Kabupaten Donggala mengusulkan Hutan Kemasyarakatan seluas 6.000 ha, namun sampai hari ini tidak ada keputusan pemerintah walaupun sudah diverifikasi oleh Tim Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup pada 2015.