DKP Sulteng Siap Wujudkan Visi-Misi Gubernur/Wagub 2016-2021

id Hasanuddin Atjo

DKP Sulteng Siap Wujudkan Visi-Misi Gubernur/Wagub 2016-2021

DR Ir Hasanuddin Atjo, MP, Kadis KP Sulawesi Tengah. (Antarasulteng.com/istimewa)

Hasanuddin Atjo: udang dan tuna-cakalang adalah komoditas yang paling siap masuk industrialisasi
Palu (antarasulteng.com) - Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah telah memiliki strategi, program dan rencana kegiatan untuk mewujudkan visi dan misi Gubernur dan Wakil Gubernur Sulteng periode 2016-2021 Drs H Longki Djanggola dan H. Soedarto, SH.M.Hum yang dilantik Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, 16 Juni 2016.

Visi Gubernur/Wagub terpilih pada pilkada 9 Desember 2015 adalah terwujudnya Sulawesi Tengah yang mandiri, maju dan berdaya saing, sebagai tindaklanjut visi sebelumnya periode 2011-2016 yakni sejajar dengan provinsi maju di timur Indonesia melalui pengembangan agribisnis dan kelautan.  

Strategi DKP Sulteng terkait dengan pencapai visi-misi itu adalah mengembangkan komoditas unggulan sektor kelautan dan perikanan dengan basis kewilayahan atau cluster dan berorientasi kepada industrialisasi.

Untuk mewujudkan rencana ini dibutuhkan dukungan sektor lain seperti pengembangan sumber daya manusia, infrastruktur dasar seperti pelabuhan perikanan, irigasi untuk pertambakan, prasarana logistik dan distribusi (pabrik es, coldstorage dan alat angkut). Selanjutnya ketersediaan listrik dan air bersih, kelayakan jalan termasuk jalan-jalan produksi serta pelabuhan pengiriman laut maupun udara juga menjadi faktor yang menentukan.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng Dr. Ir. Hasanuddin Atjo, MP mengatakan pada periode pertama pemerintahan Longki-Sudarto 2011-2016, dinasnya telah membuat roadmap atau peta jalan pengembangan komoditas unggulan tersebut yaitu (1) udang (2) tuna-cakalang, (3) rumput laut, (4) bandeng, (5) sidat, (6) ikan karang seperti kerapu dan sejenisnya, serta (7) komoditas yang terkait ketahanan pangan yaitu ikan pelajik kecil seperti kembung, layang serta ikan air tawar seperti nila dan mas.

Roadmap ini akan menjadi salah satu pertimbangan utama pengembangan sektor Kelautan dan Perikanan bagi pemerintah maupun stakeholders lainnya. Untuk menuju visi itu dibutuhkan proses panjang karena terkait kKoordinasi lintas sektor; regulasi dan intervensi yang saat ini secara umum masih menjadi kendala.

Dari tujuh komoditas utama itu, dalam periode 2016-2021 setidaknya ada empat komoditas yang akan dikembangkan dengan pendekatan industrialisasi, yaitu udang; tuna-cakalang; bandeng dan rumput laut.  

Menurut Atjo, ada dua syarat utama untuk menjadi komoditas industrialisasi, pertama adalah jaminan suplai (kuantitas, kualitas dan konsistensi) yang selama ini sering dikeluhkan, dan yang kedua adanya jaminan pasar.

Dukungan yang diperlukan guna memenuhi dua syarat itu adalah pengembangan sistem produksi termasuk inovasi-teknologi dan SDM; sistem logistik serta; sistem distribusi.  

Sulawesi Tengah, kata Atjo, sebenarnya diuntungkan karena memiliki Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).  Harapan kita adalah bagaimana KEK ini segera dapat difungsikan karena di dalamnya sangat terkait dengan peran industri prosesing, logistik dan distribusi yang bisa meningkatkan efesiensi dan nilai tambah yang bermuara kepada peningkatan daya saing komoditas kita.

Udang paling siap

Dari empat komoditas itu, kata Atjo, komoditas udang, tuna-cakalang merupakan yang paling siap memasuki industrialisasi karena sistem produksi kedua komoditas ini telah dikuasai dengan baik ditunjang lagi dengan pasar yang sangat terbuka dan bernilai ekonomi tinggi.  

Dia mencontohkan pengembangan industrialisasi udang. Saat ini teknologi budidaya udang berkembang sangat cepat. Penemuan teknologi budidaya udang supra intensif oleh Ketua Shrimp Club Indonesia wilayah Sulawesi, Hasanuddin Atjo pada 2011 itu merupakan sebuah amunisi baru untuk jaminan suply bahan baku.  

Dengan teknologi ini maka dalam setiap ha (konversi) akan dihasilkan udang jenis vaname sebesar 150 ton/musim tanam atau 300 ton/tahun. Kalau diasumsikan dalam lima tahun kedepan di 12 kabupaten/kota se Sulteng terbangun 200 ha tambak supra intensif dengan tingkat produktivitas rata-rata 150 ton /ha/tahun, maka setiap tahun akan diperoleh tambahan bahan baku sejumlah 30.000 ton. Produksi udang Sulteng 2015 baru sekitar 8.000 ton).

Saat ini di Sulteng telah terbangun beberapa unit tambak supra intensif sebagai tambak contoh dan mulai diikuti oleh beberapa pelaku usaha. Tahun 2016 ini beberapa pelaku usaha telah membebaskan lahan untuk memproduksi udang dengan teknologi serupa.

Efek domino dari peningkatan produksi ini akan mendorong tumbuhnya industri di hulu seperti perbenihan, pabrik pakan, peralatan dan mesin. Demikian juga akan memicu bergeraknya industri di hilir seperti industri prosesing yang memerlukan coldstorage dan pabrik es serta industri penunjang lainnya.

Kesemuanya ini akan berdampak terhadap peningkatan serapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Dengan pendekatan industri, maka setiap ton udang memerlukan tenaga kerja sekitar 200 orang/hari. Implikasinya kalau Sulteng memiliki bahan baku udang 38.000 ton/tahun, maka kebutuhan tenaga kerja adalah sekitar 25.000 orang.

Apa yang menjadi kebijakan DKP Sulteng juga sejalan dengan pemikiran Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Rokhmin Dahuri bahwa Indonesia untuk keluar dari persoalan pangan, pertumbuhan ekonomi dan serapan tenaga kerja harus segera masuk ke industri budidaya perikanan (akuakultur), seperti industri udang.

Atjo yang juga Wakil Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu juga menyitir rilis Tim Komunikasi Presiden Sukardi Rinakit yang mengatakan bahwa Presiden Jokowi dalam rapat terbatas Kabinet 15 Juni 2016 di Istana Negara menegaskan bahwa "Masa depan Indonesia Ada di Laut."

Presiden mencontohkan Jepang mampu menyumbang 48,5 persen dari Produk Domestik Bruto(PDB)nya atau setara dengan USD 17.500 miliar hanya dari sektor ekonomi kelautannya. Sementara Thailand dengan panjanggaris pantai 2.800 km, ekonomi kelautannya mampu menyumbang devisa sebesar 212 miliar dolar AS.
Indonesia dengan luas wilayah laut mencapai 70 persen, kontribusi ekonomi Kelautannya kurang dari 30 persen padahal potensi ekonomi kelautan Indonesia mencapai 1,2 triliun dolar AS dan penyerapan tenaga kerja sekitar 40 juta orang.