Masyarakat Moma dan Lero ingin "merdeka"

id jembatan

Masyarakat Moma dan Lero ingin "merdeka"

Jembatan gantung menuju Dusun Moma, Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala sangat memprihatinkan hanya menggunakan beberapa batang bambu dengan pegangan tambang di kedua sisinya. (Foto Antara/ Anas Massa)

Kami juga ingin 'merdeka' dan bisa menikmati pembangunan seperti halnya masyarakat lain.
Donggala, Sulteng  (antarasulteng.com) - Sejumlah warga dengan ekstra hati-hati melewati sebuah jembatan gantung yang hanya menggunakan beberapa batang bambu dengan pegangan tambang di kedua sisinya.

"Awas hati-hati pak, tapi nggak usah takut. Berpegangan pada kedua tali yang ada di sisi kiri dan kanan jembatan," kata Narti, warga Dusun Moma, Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Sementara seorang ibu menangis karena takut melewati jembatan gantung yang terlihat cukup mengerikan itu.

Selain konstruksi jembatan yang hanya terbuat dari beberapa batang bambu dan diikat dengan tali rotan, juga sungainya dalam dan banyak batu besar.

Jika sampai jatuh ke sungai, kemungkinan untuk selamat sangat tipis.

Tetapi bagi masyarakat yang mendiami dusun tersebut, tidak ada rasa takut, karena mereka sudah terbiasa dengan hal seperti itu.

Ada alternatif yakni menggunakan rakit menyeberangi sungai tetapi dalam kondisi banjir sama sekali tidak bisa menyeberang.

Bertahun-tahun masyarakat hidup dalam kondisi keterisolasian.

Namun demikian, meski belum memiliki akses jalan memadai dan jembatan permanen, masyarakat di dusun itu tetap memiliki rasa kepedulian tinggi bagi orang-orang yang datang mengunjungi mereka.

Mereka dengan sangat ramah dan sopan menyambut setiap tamu yang datang. Bahkan, ketika penulis sampai di jembatan gantung menuju dusun itu, beberapa warga menawarkan diri untuk membawakan tas pakaian sampai diseberang sungai.

Padahal, mereka termasuk masyarakat adat yang selama bertahun-tahun hidup dalam perkampungan yang terbilang berada di tengah hutan jauh dari ibu kota kecamatan.

Kondisi yang sama juga terlihat di Dusun Lero hanya berjarak sekitar 16km dari Dusun Moma. Dusun yang belum banyak dihuni masyarakat tersebut juga kondisi kehidupan sangat mirip.

Dusun Lero juga hingga kini hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki melewati hutan dan sejumlah sungai yang sama sekali belum ada jembatan.

"Jika musim hujan dan banjir, warga terpaksa harus bermalam diseberang sungai menunggu sampai banjir surut baru bisa melanjutkan perjalanan,"kata Beto.

Kedua dusun di Kecamatan Rio Pakava itu, kata pemuda lajang yang berprofesi sebagai pelayan injil, hingga kini belum ada sekolah dan juga sarana kesehatan.

Padahal, kata dia banyak anak usia sekolah yang ada di dua dusun itu.

Karena tidak ada sekolah, anak-anak terpaksa membantu orangtua mereka berkebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Masyarakat setempat bercocok tanam hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sumber utama mata penaharian mereka adalah menanam jagung, ubi-ubian dan padi ladang.

Semua tanaman tidak pernah tersentuh sarana produksi pertanian (saprodi) pupuk dan obat-obatan. Karena itu, hasilnya tentu tidak sama seper ti tanaman yang menggunakan saprodi dimaksud.

"Ya terkadang mereka gagal panen karena hama," kata Beto.

Menurut dia, selagi belum ada akses jalan memadai, tentu kehidupan masyarakat di dua dusun itu tidak akan berkembang.

Mereka tetap berlelenggu dengan kemiskinan ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

Harapan Pada 2017


Masyarakat Dusun Moma dan Lero sangat berharap kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Donggala untuk memperhatikan mereka seperti masyarakat lain yang telah lebih dahulu menikmati pembangunan di segala bidang, termasuk infranstruktur.

Infranstruktur berupa prasana jalan, jembatan dan listrik serta air bersih merupakan kebutuhan utama masyarakat Dusun Moma dan Lero.

Akibat masih terisolir, masyarakat di dua dusun itu selama ini sangat sulit meningkatkan taraf kehidupan mereka karena hasil panen tidak bisa dijual, selain hanya untuk makan sehari-hari.

Padahal, lahan yang ada sangat subur sekali baik untuk komoditi pertanian dan perkebunan.

Masyarakat mendambahkan pada 2017 paling tidak Pemkab Donggala bisa membuka akses jalan mobil ke Dusun Moma dan Lero.

Jarak antara Desa Lalundu dengan Dusun Moma dan Lero sekitar 36km.

Untuk mencapai dusun itu, warga berjalan kaki dan terpaksa harus tidur semalam di hutan dan besok hari barulah melanjutkan perjalanan.

"Tapi kalau sungainya banjir, perjalanan bisa lebih beberapa hari karena harus menunggu air surut,"kata Beto.

Meski masih terisolir, kata dia, masyarakat Dusun Moma dan Lero tetap terjangkau pangan subsidi.

Semua warganya tingkat ekonominya sangat memprihatinkan dan mereka adalah penerima beras raskin atau sekarang rastra (beras untuk keluarga prasejahtera).

Ia mengatakan jumlah penduduk di dua dusun yang masih terisolir itu sekitar 60-an kepala keluarga (KK) dan semuanya miskin dan 100 persen dapat jatah raskin.

Namun selama ini warga menerima raskin harus jalan kaki sekitar 36km untuk sampai di Desa Lalundu, Kecamatan Riopakava sebagai titik distribusi raskin di wilayah itu.

Selanjutnya, jatah rastra yang diterima setiap dua bulan sekali itu terpaksa dipikul sampai ke dusun Moma dan Lero.

Kedua dusun tersebut sangat terpencil dan berada di tengah-tengah hutan belantara yang sunyi, tetapi udaranya sangat sejuk.

Kini masyarakat berharap Pemerintah Kubupaten Dongga dibawa pimpinan Bupati Kasman Lassa segera membebaskan mereka dari keterisolasian selama bertahun-tahun.

"Kami juga ingin `merdeka` dan bisa menikmati pembangunan seperti halnya masyarakat lain di wilayah pemerintahan Bupati Kasman Lassa," kata Narti dan Beto mewakili aspirasi masyarakat Dusun Moma dan Lero.