Memaknai ekonomi Pancasila ala Jokowi

id jokowi

Memaknai ekonomi Pancasila ala Jokowi

Presiden Joko Widodo (Jokowi). (ANTARA/Widodo S. Jusuf/P003)

Jakarta (antarasulteng.com) - Gagasan sistem ekonomi Pancasila, menurut Tarli Nugroho, peneliti Pusat Studi Pancasila (PSP), dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta, sesungguhnya sudah cukup lama. Ketika Prof. Mubyarto menjadi staf ahli Menteri Perdagangan Sumitro Djojohadi Kusumo tahun 1969, gagasan itu sudah pernah dilontarkan.

Laporan berita dari Kantor Berita Antara (LKBN Antara) menyampaikan kenaikan produksi padi tahun itu melebihi dari yang ditargetkan pemerintah mencapai hingga 11,14 juta ton dari target sebesar 10,01 juta ton.

Mubyarto kala itu memaknai kenaikan produksi padi tersebut dari sisi filsafat ilmu (ephistimologi), yakni hakekat keberadaan suatu negara. Tujuan suatu negara, melindungi segenap bangsa Indonesia.

Pemerintahan orde baru di bawah Presiden Soeharto, kata Mubyarto, dapat menjaga harga produk petani, khususnya harga gabah. Dengan begitu para petani akan senang dan giat menanam padi dan produk pertaniannya, karena hasil kerjanya akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Hakekat Pasal 33 UUD 1945, menurut Muby --sapaan akrab Mubyarto--, seperti yang tertera dalam pembukaan UUD yakni Pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Singkatnya sesuai dengan esensi lima sila dalam Pancasila.

Ekonomi Pancasila dipersepsikan tidak sekadar membela kepentingan petani dengan menjaga harganya agar tidak terus terjerembab turun, tetapi juga melindungi produknya dari serbuan impor. Dua hal itu dilakukan sebagai jalan mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

Sementara sistem ekonomi Pancasila dimata Presiden Joko Widodo dapat dimaknai merupakan sistem ekonomi yang mampu mengurangi kesenjangan kemiskinan antara si kaya dengan si miskin. Ekonomi Pancasila atau ekonomi gotong rayong adalah ekonomi yang berwajah keadilan, mampu memberikan pekerjaan untuk banyak orang, dan menekan jumlah kemiskian dan pengangguran. 

"Yang kita siapkan adalah kebijakan ekonomi Pancasila, ekonomi gotong royong, yakni ekonomi yang menekan pengangguran, kemiskinan, hingga kesenjangan/ketimpangan. Intinya, ekonomi berkeadilan, ada pemerataan. Percuma pertumbuhan ekonomi tinggi dan tidak merata. Ini adalah sebuah hal yang percuma," kata Presiden Joko Widodo saat menyampaikan sambutan pada Hari Ulang Tahun (HUT) PDI Perjuangan ke 44 di Jakarta, Selasa.

Guna mewujudkan ekonomi Pancasila, Presiden memulainya dengan pembangunan dari pinggiran, dari pulau terdepan atau perbatasan dan dari pedesaan. Pembangunan yang difokuskan dari perdesaan dan dari pulau terluar, dapat menekan kesenjangan di Tanah Air yang kian hari bertambah menganga.

Dengan demikian, sistem ekonomi Pancasila versi Prof. Mubuyarto dengan Joko Widodo, substansinya sama, yakni pemerintah harus melakukan pemihakan kepada kelompok yang lebih besar, yakni para petani, buruh lainnya yang selama ini dibiarkan hidup tertatih-tatih bersaing dengan para konglomerat yang sudah mendapatkan fasilitas lebih dibandingpara petani di pedesaan dan pulau-pulau terluar. 

Para petani yang tinggalnya di perdesaan, saat ini tampak kurang beruntung karena untuk bertani tidak cukup lahannya. Lahan jutaan hektare lebih banyak dikuasai oleh para konglomerat (baca 9 taipan Indonesia). Karenanya wajar jika jumlah produk pertanian tidak cukup memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia termasuk produk cabai merah yang saat ini dibeberapa tempat harganya sampai Rp100 per Kg.

Itulah sebabnya, Presiden dalam sisa masa tugasnya hingga tahun 2019 akan fokus pada usaha pemerataan menuju keadilan secara umum dengan cara membangun dari daerah pinggiran, memberikan sertifikat tanah kepada para petani miskin, memberikan tanah kepada kaum adat (tanah ulayat) dan membuat kebijakan tata ruang yang fair dapat dibuka secara umum.


Perbaiki GNI Ratio


Guna meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, pengamat ekonomi dari Eksekutif Institute for Development of Economic and Finacial (Indef), Enny Sri Hartati kepada pers menyebutkan, sistem ekonomi apapun akan baik bagi rakyat jika pemerintah mampu memperbaiki Indeks Pendapatan Perkapita atau (GNI ratio).

Pendapatan perkapita masyarakat Indonesia tercatat Rp38,37 juta tahun 2013 dan naik menjadi Rp41,9 juta pada 2014 serta menjadi Rp45,18 juta per kapita per tahun pada 2015. Data versi BPS itu kata Enny, mengalami kenaikan, tetapi masyarakat luas tidak ikut menikmati kenaikan pendapatan tersebut.

"Sejak tahun 2011 masyarakat secara umum belum merasakan kenaikan pendapatan itu lantaran hanya 20 persen dari jumlah penduduk yang mengalami kenaikan pendapatan, sisanya stagnan," katanya seraya mengatakan, indeks GNI dari tiga tahun silam hanya 0,41 poin sementara target pemerintah 0,40 bahkan pada akhir tahun 2019 diharapkan turun lagi menjadi 0,39 poin.

Data Bank Dunia menunjukkan, jumlah indeks per kapita Indonesia masih rendah jika dibandingkan negara tetangga seperti Australia, Singapura dan Malaysia. Australia tahun 2009 sudah mencapai 46.450 dolar AS, setara dengan Rp603,850 juta per kapita per tahun.

Sementara Singapura mencapai 37.220 dolar AS dan Malaysia mencapai 7.350 dolar AS atau setara Rp95,550 ribu kurs Rp13 ribu per dolar AS pada tahun sama.

Dalam pandangan Presiden, tingginya disparitas pendapatan antara si kaya dan si miskin, antara lain disebabkan distribusi pendapatan dan asset nasional masih dikuasai oleh segilintir orang. Itu sebabnya, dalam tidak terlalu lama pihaknya akan terus meluncurkan paket-paket kebijakan yang menguntungkan kelompok yang lebih luas yang selama ini terpinggirkan.

"Ketika saya berkunjung ke Kalimantan Barat, saya telah membagikan 2 juta hektare kepada petani dari 6,4 juta yang harus dibagikan kepada petani dan tanah adat. Tahun ini, BPN juga saya perintahkan untuk mengeluarkan 5 juta sertifikat, naik menjadi 7 juta tahun 2018 dan 9 juta sertifikat untuk tahun 2019," katanya.

Dengan adanya distribusi asset nasional, khususnya tanah yang diberikan kepada petani, koperasi dan masyarakat adat, maka secara bertahap kesenjangan akan turun, masyarakat luas akan ikut menikmati pendapatan dan pada gilirannya, kesejahteraan umum akan terwujud. Itulah esensi dari ekonomi Pancasila sebagaimana yang diharapkan para pendiri negeri ini.

(Penulis wartawan utama)/Y005/T007)