UPT Perbenihan Perikanan Sulteng Terapkan Teknologi RAS

id DKP

UPT Perbenihan Perikanan Sulteng Terapkan Teknologi RAS

Kepala UPT Perbenihan Perikanan DKP Sulteng Dr Saldiansyah Effendy, SPi.MSi sedang mengecek fungsi tabung filtrasi air di Tulo, Kabupaten Sigi, Kamis (23/2). (Antarasulteng.com/Istimewa)

Teknologi RAS ini diharapkan bisa meningkatkan produksi benih sampai 10 kali lipat
Palu (antarasulteng.com) - "Kalau komiu (anda) datang ke kantor kami di Tulo, mungkin komiu kaget, karena sudah seperti ruang ICU (intensif care unit) sebuah rumah sakit, karena di dalam terdapat banyak tabung filtrasi air yang mirip tabung gas oksigen untuk pasien ICU," kata Nuzlan, seorang pejabat Unit Pelaksana Teknis Perbenihan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng berkelakar.

Unit Perbenihan Perikanan DKP Sulteng mulai 2017 ini memang menerapkan teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) sebagai salah satu inovasi yang diyakini dapat melipatgandakan produksi benih ikan nila yang sangat dibutuhkan masyarakat di daerah ini.

"Kami menginvestasikan dana sekitar Rp200 juta untuk teknologi ini, dan diharapkan bisa meningkatkan produksi benih ikan nila sampai 10 kali lipat dari kondisi 2016," kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Perbenihan Perikanan DKP Sulteng Dr Saldiansyah Effendy, SPi.MSi di Kota Palu, Jumat.

Teknologi yang nisbi masih baru di Indonesia itu, kata Saldy, diimplementasikannya karena melihat keterbatasan suplai air untuk bak-bak pembenihan ikan milik DKP Sulteng di Desa Tulo, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi.

"Setelah saya masuk di sana pada Januari 2017, saya melihat bahwa masalah utama pengembangan produksi benih di UPT Perbenihan itu adalah suplai air yang sangat terbatas dari saluran irigasi Gumbasa, karena semakin tingginya kebutuhan air untuk pertanian oleh masyarakat sekitar," ucap Saldy yang baru sekitar enam pekan menjabat Kepala UPT Perbenihan Perikanan itu.

Keterbatasan air tersebut menyebabkan produksi benih ikan nila di UPT ini paling tinggi mencapai 20.000 ekor setiap bulan, padahal kebutuhan benih nila di Kota Palu dan sekitarnya mencapai 2,9 juta ekor tiap bulan.

Melihat kondisi air yang minim seperti itu, katanya, maka jalan keluar paling tepat untuk meningkatkan produksi tanpa menambah suplai air adalah menerapkan teknologi RAS, dimana air bekas pakai di bak-bak pembenihan, didaur ulang dengan peralatan berupa tabung filtrasi untuk kemudian digunakan kembali mengisi bak-bak tersebut.

"Kami mengadakan 14 unit tabung filtrasi air dan perlengkapannya dan kini sudah dalam tahap uji coba produksi," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa dengan menerapkan teknologi RAS, pihaknya tidak perlu lagi membangun kolam-kolam besar, karena teknoligi RAS cukup dengan bak-bak kecil berkapasitas 10 ton air, namun kepadatan benihnya dilipatgandakan sebab teknologinya mendukung yakni kebersihan air dan suplai oksigen sangat memadai.

"Kami otimistis teknologi ini akan meningkatkan produksi benih nila pada 2017 ini menjadi 200.000 ekor/bulan, yang sebelumnya hanya 15.000 sampai 20.000/bulan," tegasnya.

Teknologi RAS sudah diterapkan di Balai Benih Air Payau (BBAP) Ujung Bate`e, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang saat ini memproduksi 500.000 ekor benih nilai tiap bulan pada bak-bak pembenihan yang kapasitasnya sama dengan yang dimiliki UPT Perbenihan Perikanan DKP Sulteng.

Di Amerika Serikat, teknologi ini mampu memproduksi 112 kg benih per meter kubik air, dan di Meksiko 70 kg/meter kubik air.

"Sekarang memang harus inovasi teknologi dan perubahan mindset aparatur, tanpa itu, tidak mungkin produksi benih di UPT Perbenihan DKP Sulteng di Tulo ini bisa ditingkatkan, sebab suplai air dari bendungan Gubmasa sangat kecil kemungkinan bisa dinaikkan karena kebutuhan air masyarakat untuk pertanian semakin meningkat," tuturnya.

Saldyansyah menyebutkan bahwa pihaknya sangat berkepentingan untuk menggenjot produksi benih ikan nila untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang sangat tinggi serta mencapai target pendapatan asli daerah (PAD) yang ditetapkan pemerintah provinsi.

"Tahun ini kami diberi target PAD R600 juta, tetapi saya optimistis realisasinya bisa mencapai Rp1 miliar bahkan lebih," ujar doktor pertama bidang teknologi budi daya rumput laut dari Fakultas Perikanan Universitas Tadulako Palu itu.