Ketika Reputasi Menjadi Kebutuhan

id DKP

Ketika Reputasi Menjadi Kebutuhan

Kepala Dinas KP Sulteng Dr Ir Hasanuddin Atjo, MP (Antarasulteng.com/Rolex Malaha)

Pimpinan sangat berperan dalam mengembangkan reputasi staf
Palu (antarasulteng.com) - REPUTASI adalah predikat baik atau positif yang disandang seseorang atas penilaian orang lain terhadap kinerjanya atau prestasinya, apakah seorang tokoh, aparat, birokrat, politisi, akademisi, pelaku usaha, bahkan siswa atau mahasiswa.

Jim Collins, seorang penulis buku terkenal kelahiran Colorado, Amerika Serikat 1958 memberikan arti yang lebih rinci bahwa reputasi adalah integrasi dari bidang yang ditekuni seseorang, bidang tersebut terbaik bagi yang bersangkutan, dan bidang itu telah memberikan manfaat. 

Pengertian ini selanjutnya dapat dimaknai bahwa reputasi lebih berhubungan dengan keahlian seseorang. Untuk menjadi ahli, maka seseorang harus memiliki dua modal dasar yaitu kompetensi dan karya nyata. Kompetensi merupakan integrasi dari pengetahuan, ketrampilan dan attitude atau perilaku yang dimiliki seseorang. Sedangkan karya nyata adalah buah dari kerja keras seseorang karena kompetensinya yang dikerjakan secara berulang dan memberikan manfaat.

Mengapa perlu reputasi

Di era globalisasi dan digitalisasi, reputasi menjadi salah satu syarat untuk memenangkan persaingan. Lahirnya taxi aplikasi digital online seperti Grab, dan Uber dengan cepat menggeser popularitas taksi konvensional seperti Blue Bird dan Ekspress karena reputasinya yang lebih murah, cepat dan terukur. 

Membludaknya pasien seorang dokter praktek  atau tingginya pilihan seorang dosen menjadi pembimbing mahasiswa semuanya tidak lepas dari reputasi yang mereka miliki. Sang dokter berhasil membuat pasiennya banyak yang sembuh, sehingga mendapat gelar bertangan dingin. Demikian juga sang dosen pembimbing yang kemudian terkenal “piawai” melahirkan mahasiswa berkualitas karena bimbingannya. 

Terpilihnya kembali seorang anggota legislatif atau seorang kepala daerah untuk periode kedua kalinya disebabkan  oleh reputasinya karena mampu merealisasikan sebahagian besar visi-misinya yang pernah dijanjikan kepada masyarakat pada saat kampanye.Lelang terbuka dalam pengadaan barang dan jasa melalui aplikasi digital online dengan mudah dan cepat  menentukan pemenangnya lagi lagi karena reputasi. 

Sebaliknya peserta lelang yang pernah punya reputasi jelek dalam pekerjaan sebelumnyadi tempat lain dengan mudah ditemukan kesalahan itu kemudian menggugurkannya. 

Seorang calon debitur bank (pemohon kredit) dengan mudah memperoleh pinjaman juga karena reputasinya. Namun bila hasil cross chek oleh Bank Central menggunakan aplikasi digital ditemukan sang calon debitur ada kesalahan kecil misalnya lalai membayar iuran administrasi kartu kredit sebuah bank meskipun tidak pernah dipergunakan, maka yang bersangkutan dipertimbangkan untuk tidak diberikan pinjaman. 

Dari rangkaian contoh yang telah disebutkan menunjukkan betapa pentingnya sebuah reputasi. Dan reputasi kini telah menjadi sebuah kebutuhan dalam rangka memenangkan persaingan.

Reputasi birokrasi

Reputasi seorang birokrat akan terbangun seiring dengan proses yang bersangkutan melaksanakan tugas dan fungsinya. Seorang birokrat apakah staf maupun pejabat harus memahami bahwa mereka direkrut karena ada masyarakat yang harus dilayani dan diatur. Memahami tugas dan fungsinya saja tidak cukup tetapi harus disertai dengan profesionalisme dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.  Semakin profesional dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, maka reputasinya sebagai birokrat “dimata” masyarakat akan semakin baik.  

Pertanyaan yang muncul kemudian faktor apa saja yang akan membuat seorang birokrat atau dikenal juga dengan sebutan Aparatur Sipil Negara, ASN dapat membangun reputasinya?. Apakah karena pendapatan, lingkungan kerja atau ada faktor lain. 

Berikut ini dikemukan dua kasus ASN yang melaksanakan tugas di bidang yang berbeda. Pertama yang bertugas sebagai penjaga palang kereta api yang melintasi jalan umum. Pekerjaan jenis seperti ini tidak diminati banyak orang dan biasanya menjadi pilihan terakhirkarena membosankan, berpendapatan kecil, lingkungan kerja yang tidak nyaman. 

Namun realitasnya ASN yang bertugas pada posisi ini melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan profesional. Kalau tidak maka akan puluhan atau ratusan kecelakaan yang bakal terjadi. 

Kedua adalah ASN bertugas di bidang perizinan atau jasa pelayanan. Contoh simpelnya petugas pungut biaya parkir dengan sistem konvensional di pintu keluar seperti bandara. Kadangkala petugas bekerja kurang profesional seperti tidak memberikan karcis sebagai bukti pembayaran dengan alasan karcis habis atau memberikan karcis kadaluarsa, bekerja lamban atau sengaja memperlambat. 

Masih banyak lagi contoh-contoh di bidang perizinan dan pelayanan jasa yang kinerjanya mirip-mirip seperti si pemungut jasa parkir. Padahal pendapatan mereka di bidang ini lebih baik karena ada insentif, lingkungan kerja lebih nyaman bahkan kadangkala ditempatkan di ruang berpendingin udara.

Dari dua kasus ini memberi gambaran bahwa besarnya pendapatan dan lingkungan kerja yang lebih nyaman bukan menjadi faktor utama seorang ASN membangun reputasinya.

Membangun reputasi

Reputasi itu pada hakekatnya identik dengan sebuah keahlian, kemudian keahlian itu berhubungan dengan kompetensi dan karya nyata. Oleh karena itu seseorang yang memiliki reputasi pasti memiliki kompetensi dan karya nyata yang bermanfaat.

Dalam mengukur kompetensi ada tiga faktor yang harus dievaluasiyaitu pengetahuan, ketrampilan dan perilaku atau attitude kerja. Dalam banyak kasus, reputasi itu lebih ditentukan oleh perilaku kerja atau attitude seseorang seperti sang penjaga palang pintu Kereta Api yang dengan ikhlas, konsisten dan tanggung jawab menutup dan membuka palang pintu.  Sebaliknya petugas pemungut jasa parkir cenderung kurang bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas. 

Pimpinan sangat berperan dalam  mengembangkan reputasi staf yang menjadi kendalinya.Pimpinan harus mampu memetakan minat dan bakat dari stafnya.  Berdasarkan hasil pemetaan itu, maka rekruitmen pada jabatan tertentu disesuaikan dengan minat dan bakat itu.

Selanjutnya pimpinan mengarahkan dan mendorong staf tersebut untuk mendalamidan mengasah  minat maupun bakatnya. Dan dalam kurun waktu tertentu melalui pendampingan yang berlanjut, maka staf tersebut akan menjadi ahli dibidangnya.  

Hal yang terpenting dalam membangun reputasi itu bahwa baik pimpinan maupun staf keduanya mau berubah, membiasakan yang benar bukan membenarkan yang biasa.  

Mengakhiri tulisan ini maka upaya membangun reputasi dapat dilakukan dengan lima pendekatan yaitu mengembangkan 5 kapasitas yang disingkat menjadi 5 K ( kompetensi, komitmen, konsistensi, koneksitas dan kecepatan) dan secara paralel melatih menerapkan budaya kerja 5 As (cerdas, keras, mawas, tuntas dan ikhlas). Semoga!! *) Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah.