Polda: Penindakan Kasus Elpiji Bersubdisi Terkendala Aturan

id elpiji

Polda: Penindakan Kasus Elpiji Bersubdisi Terkendala Aturan

Ilustrasi (antaranews)

Palu,  (antarasulteng.com) - Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah mengakui sulitnya melakukan tindakan terhadap oknum atau dunia usaha yang masih mengunakan bahan bakar gas bersubsidi, khususnya elpiji 3 kilogram.

"Persoalan elpiji 3 kilogram tidak pernah selesai, karena dalam penindakan yang kami lakukan, terbentur dengan persoalan aturan dan perizinan," ungkap Kasubdit I Bidang Industri dan Perdagangan, Ditreskrimsus Polda Sulteng AKBP Teddy D Salawati di Palu, Selasa.

Teddy mencontohkan pihaknya telah melakukan penangkapan terhadap salah seorang pemilik restoran yang diketahui menggunakan gas elpiji 3 kilogram bersubsidi.

Jika dilihat secara nyata, kata dia, dalam melakukan transaksi saja sudah menggunakan mesin gesek nontunai, yang artinya itu sudah merupakan usaha besar dan tidak layak menggunakan gas bersubsidi.
Hasil gambar untuk antarasulteng elpiji

"Namun, ketika dilakukan proses hukum, ujungnya buntu pada perizinan. Namun setelah ditelusi soal izin lingkungan, masih menggunakan izin usaha mikro, walaupun usaha yang dilaksanakan sudah dalam kategori usaha besar," ungkapnya.

Penyalahgunaan elpiji 3 kilogram atau elpiji bersubsidi telah diatur dalam peraturan bersama Mendagri Perdagangan dan Menteri ESDM Nmor 17 Tahun 2011 dan Nomor 5 Tahun 2011. Pengawasan atas pelaksanaan distribusi elpiji 3 kilogram, juga sudah diatur dalam Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2011 tentang Pengawasan Penyediaan dan Pendistribusian elpiji 3 kilogram sebagaimana dalam ketentuan Pasal 33 Permen ESDM No. 26 Tahun 2011.

Jika melihat regulasi yang ada, kata dia, usaha dengan izin mikro masih diperbolehkan menggunakan gas bersubsidi, sementara untuk usaha kecil dan menengah sudah tidak diperbolehkan lagi.

Teddy juga berharap agar pemerintah kota atau kabupaten, dalam memberikan izin usaha, agar dapat melihat lebih jeli dan rinci lagi, apakah izin yang diberikan masuk dalam kategori mikro, kecil atau menengah.

"Sehingga, jika ada pelanggaran yang dilakukan dalam menggunakan bahan-bahan bersubsidi, pihaknya tidak ragu dalam memberikan penindakan," ujar Teddy yang juga Ketua Satgas Pangan Sulteng itu.

Selain itu, bagi izin-izin usaha yang telah dikeluarkan oleh pemerintah sebaiknya dilakukan evaluasi kembali.

Ia sendiri merasa sangat heran karena persoalan gas bersubsidi yang memberikan subsidi adalah pemerintah, yang melaksanakan adalah Pertamina, tapi mengapa masyarakat yang sengsara mencari kebutuhan itu.

Bagi Teddy, salah satu solusi yang bisa digunakan yakni pedagang, baik agen, pangkalan, maupun pengecer di Kota Palu, dipersilahkan menjual dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp16 ribu.

"Jika ada yang menjual di atas itu, terpaksa kami berikan tindakan tegas," tegas Teddy.

Ia berharap, adanya regulasi yang dapat dikeluarkan oleh pemerintah provinsi yang dapat diikuti oleh pemerintah kabupaten dan kota, yang tidak bertentangan dengan undang-undang, sehingga pihaknya sebagai aparat penegak hukum, dapat mengambil tindakan tegas.

Selain regulasi dengan peraturan menteri, pengawasan gas elpiji bersubisi juga dapat dikonversikan dengan regulasi diatasnya yakni Undang-Undang Darurat Nomor 8 tahun 1962 tentang barang-barang dalam pengawasan.

Ditambah lagi yaitu, Pasal 1 subsider 3E, Pasal 6 ayat 1 huruf B UU Darurat Nomor 7 tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi, dan atau Pasal 4 huruf A jungto Pasal 8 ayat 1 Perpu No.8/1962 tentang pengawasan barang-barang yang kaitannya untuk kestabilan ekonomi. (skd)