Tuduhan Barat ke sawit Indonesia sering tidak proporsional

id Sawit

Tuduhan Barat ke sawit Indonesia sering tidak proporsional

Ketua Umujm GAPKI Joko Suprijono (kanan) dan Humas GAPKI Tofan Mahdi (kedua kiri) saat berada di Markas PBB, New York, AS. (Antarasulteng.com/Humas GAPKI)

Fadhil: dampak ekonomi sawit sudah pasti besar, tetapi dampak lingkungannya bisa diperdebatkan.
New York (Antarasulteng.com) - Delegasi Republik Indonesia siap menjelaskan kondisi objektif sektor perkebunan kelapa sawit Indonesia dalam pertemuan tingkat tinggi di Markas PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) New York, Amerika Serikat, Rabu.

Setelah pertemuan ini, pemerintah dan dunia usaha berharap negara-negara barat lebih proporsional dalam menilai sektor pendulang devisa terbesar di republik ini.

"Mereka (Eropa dan Amerika Serikat - Red) sering tidak proporsional. Kami akan menjelaskan semuanya," kata Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) di New York, Senin (4/9).

Fadhil menjadi salah satu delegasi GAPKI dalam pertemuan di PBB ini. Selain Fadhil, ikut hadir Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono yang akan menjadi pembicara, Wakil Ketua Umum GAPKI Mona Surya, dan Juru Bicara GAPKI Tofan Mahdi.

Dalam pertemuan tingkat tinggi yang digagas UNDP (Badan PBB untuk Program Pembangunan) tersebut, Joko Supriyono akan memaparkan aspek ekonomi dan ekologi sektor kelapa sawit di Indonesia.

Fadhil mengatakan, dibandingkan Malaysia, sektor sawit Indonesia lebih banyak disorot khususnya terkait isu-isu lingkungan dan keberlanjutan. 

"Tidak ada pembangunan yang sempurna. Tapi jangan sampai, sorotan tata kelola sawit yang berkelanjutan itu sekadar kedok untuk menekan Indonesia dalam negosiasi perdagangan," ujarnya.

Selain pertemuan tingkat tinggi di PBB, delegasi RI juga akan menghadiri sejumlah diskusi dan pertemuan informal dengan UNDP, perwakilan pemerintah AS, dan melakukan kunjungan ke pabrik cokelat Mars Inc. yang merupakan pembeli minyak sawit dari Indonesia.

Selain Indonesia, dua negara juga diundang dalam pertemuan tingkat tinggi di PBB tersebut yaitu Peru (peternakan sapi), Brasil (perkebunan kedelai), dan Liberia (sawit). Ketiga negara ini juga banyak disorot terkait tata kelola lingkungan mereka.

Fadhil mengatakan sikap kritis dari negara maju termasuk badan dunia seperti PBB bisa dimengerti namun jangan mudah menggeneralisasi. Dampak ekonomi sawit sudah pasti besar, tetapi dampak lingkungannya bisa kita perdebatkan, kata nya.

Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk terus mencapai tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. (Humas GAPKI)