Dunia menanti Suu Kyi dalam rekonsiliasi Rohingya-Myanmar

id rohingya

Dunia menanti Suu Kyi dalam rekonsiliasi Rohingya-Myanmar

Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi. ( REUTERS/Jorge Silva)

Jakarta (antarasulteng.com) - Lebih dari 270 ribu Muslim Rohingya meninggalkan rumah mereka di Myanmar untuk menyelamatkan diri dari kekerasan militer sejak kemelut kembali pecah di negara bagian Raknine pada 25 Agustus 2017.

Jumlah tersebut belum termasuk korban tewas berdasarkan atas laporan PBB di Myanmar, yang diperkirakan mencapai lebih dari 1.000 orang.

Namun, hingga kini, Penasihat Negara Aung Sang Suu Kyi, yang dianggap pemimpin nyata Myanmar, belum muncul di hadapan umum, baik dalam maupun mancanegara untuk menunjukkan tekadnya menyelesaikan pertikaian di Rakhine.

Padahal, pada saat partai Suu Kyi, Liga Nasional Demokrasi (NLD), menang pemilihan umum terbuka pertama dalam 25 tahun belakangan pada 2015, sebagian besar rakyat Myanmar menganggap penerima Nobel Perdamaian 1991 itu dapat membawa perubahan, salah satunya dalam upaya rujuk suku kecil, termasuk Muslim Rohingya, menjadi satu Myanmar.

Namun, harapan mendapatkan perlakuan sama bagi semua orang di Myanmar pupus sejak sengketa di Rakhine pecah dalam skala besar pada 2016 hingga bentrok kedua pada akhir Agustus 2017, Daw Aung San Suu Kyi belum memberikan pernyataan apa pun tentang tekad pemerintah Myanmar melindungi dan menghentikan kekerasan terhadap warga Rohingya, bahkan sekadar pernyataan kecaman pun nihil.

Ungkapan kekecewaan atas kebisuan Suu Kyi pada nasib Rohingya antara lain disampaikan pengacara hak asasi manusia Wai Wai Nu, Muslim Rohingya, pergiat berbasis di Yangon, yang bergerak dalam pembangunan kemampuan pemuda di Myanmar.

"Ayah saya beserta seluruh keluarga, termasuk saya, juga dipenjara selama 47 tahun, tapi saya tidak pernah menyalahkan ayah saya atau gerakan mereka, atau Daw Aung San Suu Kyi. Dia dulu adalah pahlawan bagi saya, tapi melihat sikapnya terhadap kelompok kecil dan Rohingya itu mematahkan hati saya," kata Wai Wai Nu dalam video, yang disiarkan media "The Economist".

Wai Wai Nu, yang mendapatkan penghargaan "Peace Generation Award" atau Penghargaan Generasi Damai dari Badan Pembangunan PBB (UNDP) dan N-Peace Network, mengatakan sikap diam Suu Kyi berarti pembiaran terhadap kekerasan, yang dialami warga Rohingya.

Protes masyarakat internasional juga dilayangkan melalui petisi online di situs change.org yang meminta agar penghargaan Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi dicabut, hingga saat ini telah ditandantangi lebih dari 400 ribu orang.

Pada saat Indonesia mulai gencar mendekati Myanmar agar membuka diri untuk bantuan kemanusiaan pasca-bentrok di Rakhine pada Mei 2015, yang turut memicu gelombang pengungsi di Laut Andaman, kekerasan terhadap warga Rohingya tidak berhenti.

Presiden Joko Widodo secara khusus kembali menugaskan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi untuk bertemu dengan otoritas Myanmar, termasuk Suu Kyi, untuk menghentikan kekerasan yang terjadi pada 6 Desember 2016.

Pada saat itu, Menlu RI juga langsung mengunjungi pengungsi Rohingya di Rakhine, sementara Suu Kyi sendiri menolak berkunjung, bahkan setelah Perwakilan Khusus PBB untuk Myanmar Vijay Nambiar mendesak penerima Nobel Perdamaian 1991 tersebut untuk pergi ke sana.

Bagaimana pun, kunjungan Menlu RI saat itu membuahkan hasil karena pemerintah Myanmar kemudian membuka jalan bantuan kemanusiaan bagi Indonesia, dan pada 29 Desember 2016, Presiden Jokowi melepas pengiriman 115 ton bantuan dalam 10 peti kemas berisi bahan makanan pokok, makanan cepat saji, selimut, dan pakaian untuk warga Rakhine.

Peran diplomasi Indonesia untuk melunakkan hati pemerintah Myanmar guna membuka akses bantuan kemanusiaan di Rakhine juga tampak pada pemberian izin pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Mrauk U, Rakhine, pada Desember 2016 yang kini memasuki tahap kedua.

Namun, tampaknya segala diplomasi simpatik Indonesia juga belum mampu memengaruhi Suu Kyi untuk tampil ke muka dan bersuara guna membela minoritas Rohingya.

Kemudian, langkah diplomatik Indonesia -yang tidak putus sejak 2015- sekaligus menggandeng ASEAN dan pemimpin dunia lain membuat pemerintah Myanmar mulai membuka jalan bagi bantuan kemanusiaan dunia.

Menlu RI kembali dikirim Presiden Jokowi pada 4 September 2017 lalu, untuk bertemu otoritas Myanmar dengan seruan penghentian pertikaian di Rakhine dengan usulan Formula 4+1, yakni (1) mengembalikan stabilitas dan keamanan, (2) menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan, (3) perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine tanpa memandang suku dan agama, dan (4) pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan kemanusiaan. Elemen +1 yang diajukan Indonesia adalah pentingnya implementasi rekomendasi dari laporan Komisi Penasihat untuk Rakhine yang dipimpin mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan.

"Satu capaian penting dalam diplomasi kemanusiaan Indonesia kali ini adalah bahwa pemerintah Myanmar membuka akses penyaluran bantuan kemanusiaan di Rakhine, di mana mekanisme penyaluran dipimpin pemerintah Myanmar, tetapi melibatkan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dan beberapa pihak, termasuk Indonesia dan ASEAN," kata Menlu Retno di televisi nasional secara langsung dari Naypyidaw pada 4 September 2017.

Secara konstitusi, pemimpin tertinggi LND tersebut memang hanya memiliki kekuasaan terbatas di ranah keamanan dan pertahanan dalam negeri tetap di bawah kendali militer itu, namun sebagai penasihat negara, yang juga menteri luar negeri, Suu Kyi seharusnya dapat menggalang dukungan internasional untuk mengatasi perang di Rakhine.

Rupanya, peran tersebut tidak dimanfaatkan peraih Nobel Perdamaian itu, seperti tampak saat PBB hendak mengirimkan utusan khusus untuk membantu penyelesaian perang di Rakhine, alih-alih menerima, Suu Kyi memilih menunjuk mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan sebagai ketua Komisi Penasihat untuk Rakhine. Hingga saat ini, Myanmar belum memberikan jalan kepada Tim Pencari Fakta Utusan PBB untuk Pelanggaran HAM di Myanmar pimpinan Marzuki Darusman untuk melaksanakan mandatnya.

Tekanan kepada Suu Kyi dan pemerintah Myanmar juga dilakukan masyarakat internasional, yang masih menanti langkah nyata sang penerima Nobel Perdamaian untuk menyelesaikan perang Rakhine secara damai dan mempercepat rujuk bangsa.

Upaya rekonsiliasi nasional memang tidak mudah dilakukan, tetapi terlepas dari latar belakang sejarah dan politik, sebagian besar warga Rohingya, yang diperkirakan mencapai 1 juta jiwa di Myanmar, menetap di Rakhine jauh sebelum masa penjajahan Inggris dan tetap tinggal di sana setelah kemerdekaan Burma -nama Myanmar pada masa lalu- pada 4 Januari 1948.

Bukti kependudukan suku Rohingya di Rakhine seharusnya dapat menjadi dasar pengakuan mereka sebagai bagian dari Bangsa Myanmar, namun pemerintah militer malahan mencabut kewarganegaraan mereka pada 1980-an, yang mengakibatkan peningkatan perburuan dan kekerasan terhadap warga Rohingya. Bahkan, PBB menyebut suku Rohingya sebagai kelompok orang tanpa kewarganeraan terbesar di dunia.

Penolakan Suu Kyi terhadap keberadaan Rohingya di Myanmar dalam jangka panjang juga akan berdampak pada suku kecil lain, yang tersebar di berbagai wilayah Myanmar, untuk melakukan penentangan terhadap pemerintah. Salah satunya ialah suku Karen, yang sebagian besar tinggal di wilayah pegunungan barat Myanmar, yang berbatasan dengan Thailand.

Tuntutan suku Karen, yang meminta otonomi selama 60 tahun belakangan, yang belum dikabulkan, makin berpeluang menjadi perlawanan, karena hilangnya kepercayaan pada perlindungan pemerintah bagi semua orang, meskipun sikap Karen masih dapat dikatakan lebih baik karena kelompok itu terdiri atas pemeluk Buddha, Kristen atau keduanya. Sementara itu, yang terjadi di Rakhine sebagian besar dipengaruhi sentimen agama antara Rohingya dan Buddha, meskipun suku Arakan di sana juga ada yang beragam Islam.

Penerimaan rakyat Myanmar terhadap Suu Kyi, pahlawan oposisi dan kini masuk ke dalam pemerintahan sebagai penasihat negara, juga memudar karena angin perubahan, yang dijanjikannya seusai menang pemilihan umum terbuka pada 2015, ternyata tidak berlaku bagi semua orang.

Perlawanan juga muncul di Rakhine melalui kelompok garis keras, yang menamakan diri Tentara Pembebasan Arakan-Rohingya (ARSA), yang menyasar polisi dan militer. Kelompok itu juga diduga menjadi dalang perusakan 20 sarana tentara, yang memicu kekerasan militer kepada warga Rohingya dengan dalih membasmi kelompok teroris.

Selain berpacu dengan kemunuculan ARSA, pemerintah Myanmar juga harus meanggapi tekanan internasiona, yang menuntut Suu Kyi lebih tegas dalam mengatasi pertikaian di Rakhine, yang antara lain disampaikan Paus Fransiskus, yang meminta umat Kristen berdoa bagi warga Rohingya, yang menderita bertahun-tahun hanya karena ingin hidup dalam budaya dan kepercayaan mereka sebagai Muslim.

Kunci penyelesaian secara damai bagi warga Rohingya kini berada di tangan Suu Kyi dan militer Myanmar untuk bekerja cepat menyelesaikan sengketa di Rakhine karena sebesar apa pun dukungan pemerintah Indonesia dan ASEAN kepada Myanmar sebagai bagian dari kesetiakwanan kawasan tidak akan berarti jika tidak ada langkah nyata dari dalam negeri mereka.

Demokrasi Myanmar, yang dilambangkan melalui perjuangan Suu Kyi menjadi oposisi militer selama 15 tahun menjalani tahanan rumah, akan berbalik menjadi kritik dan tekanan dunia jika masalah di Rakhine tidak segera diakhiri.

Upaya perdamaian itu harus segera dilakukan secara tepat sasaran, dengan Suu Kyi harus mampu menyatukan dua unsur pemerintahan sipil di bawah kepemimpinannya dan militer di bawah Jenderal Min Aung Hlaing bertekad penuh menjalankan Rumusan 4+1 demi rujuk di Rakhine. (skd)