PBB khawatir eksodus Muslim Rohingya berlanjut

id rohingya

PBB khawatir eksodus Muslim Rohingya berlanjut

Ilustrasi: Seorang pengungsi pria Rohingya menarik seorang anak kecil saat mereka berjalan ke pantai setelah menyebrangi perbatasan Bangladesh-Myanmar dengan kapal melalui Teluk Bengal di Shah Porir Dwip, Bangladesh, Minggu (10/9/2017). (REUTERS/Danish Siddiqui )

Jenewa & Yangon (antarasulteng.com) - Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bersiap untuk kemungkinan "eksodus lebih lanjut" pengungsi Muslim Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh dalam enam minggu setelah darurat pengungsi itu dimulai, kata Kepala Bantuan Kemanusiaan PBB Mark Lowcock.

Sekira 515.000 orang Rohingya tiba di Bangladesh dari Rakhine bagian barat, Myanmar, dalam sebuah gerakan pengungisan yang tiada henti-hentinya setelah pasukan keamanan Myanmar menanggapi serangan militan Rohingya dengan tindakan keras.

PBB telah mengecam serangan militer Myanmar sebagai pembersihan etnis, namun Myanmar menegaskan pasukannya sedang memerangi teroris yang telah membunuh warga sipil, pemimpin agama dan membakar pedesaan.

Kelompok hak asasi manusia (HAM) mengatakan lebih dari 400 desa Rohingya di Rakhine Utara dibakar oleh pasukan keamanan dan warga Budha untuk mengusir umat Islam.

Mark Lowcock, yang posisinya di bawah Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, mengulangi seruan untuk mengakses penduduk di Rakhine utara, dan mengatakan bahwa situasinya "tidak dapat diterima".

Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Budha telah memblokir sebagian besar akses ke wilayah tersebut, walaupun beberapa agen kemanusiaan memiliki kantor terbuka di sana dan Komite Palang Merah Internasional membantu Palang Merah Myanmar untuk memberikan bantuan.

"Aliran orang Myanmar ini belum berhenti. Jelas ada ratusan ribu Rohingya yang masih tinggal di Myanmar, dan kami ingin siap seandainya ada eksodus lebih jauh,” kata Lowcock kepada Reuters di Jenewa.

Lowcock mengatakan seorang pejabat senior PBB diperkirakan akan berkunjung ke Myanmar dalam beberapa hari ke depan.

Diperkirakan 2.000 orang Rohingya tiba di Bangladesh setiap hari, Joel Millman dari Organisasi Migrasi Internasional (IMO).

Pejabat Myanmar mengatakan bahwa mereka berusaha meyakinkan kelompok yang mencoba melarikan diri ke Bangladesh, namun tidak dapat menghentikan orang-orang yang bukan warga negara untuk pergi.

Kantor Berita resmi Myanmar mengatakan bahwa sejumlah besar umat Islam bersiap untuk melintasi perbatasan karena mereka kesulitan mata pencaharian, masalah kesehatan, ketidakamanan kepercayaan dan ketakutan untuk menjadi minoritas.

Badan bantuan internasional telah memperingatkan adanya krisis gizi buruk pada sekitar 281.000 orang di Bangladesh yang membutuhkan makanan mendesak, termasuk 145.000 anak balita dan lebih dari 50.000 wanita hamil dan menyusui.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa kolera adalah sebuah risiko di tengah kekhawatiran penyebaran penyakit di kamp-kamp yang basah kuyup, di mana relawan mencoba memasang sistem sanitasi.

Sekira 900.000 dosis vaksin kolera akan tiba akhir pekan ini dan kampanye vaksinasi harus dimulai pada pekan depan.

Badan bantuan yang dipimpin PBB telah mengajukan bantuan senilai 434 juta dolar Amerika Serikat (AS) selama enam bulan untuk membantu hingga 1,2 juta orang, termasuk 300.000 Rohingya yang sudah berada di Bangladesh sebelum krisis terakhir, dan 300.000 penduduk desa Banglades.

Rohingya dianggap sebagai imigran gelap di Myanmar dan sebagian besar orang tanpa kewarganegaraan.

Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi menghadapi kritik karena tidak berbuat lebih banyak untuk menghentikan kekerasan tersebut, walaupun sebuah konstitusi rancangan militer tidak memberinya kekuatan atas pasukan keamanan.

Dia dikecam atas pelanggaran HAM, dan mengatakan bahwa Myanmar siap untuk memulai sebuah proses yang disetujui oleh Bangladesh pada 1993, di mana siapapun yang diverifikasi sebagai pengungsi akan diterima kembali.

Lowcock mengatakan bahwa pembicaraan antara Myanmar dan Bangladesh mengenai rencana repatriasi merupakan langkah awal yang berguna.

"Tapi, jelas jalannya panjang," katanya.

Baik Amerika Serikat (AS) maupun Inggris telah memperingatkan Myanmar bahwa krisis tersebut membahayakan kemajuan yang telah diraihnya sejak militer mulai melonggarkan cengkeramannya pada kekuasaan.

Namun, sejauh ini kekuasaan militer Myanmar masih cukup dominan. Bahkan, undang-undang dasar Myanmar yang disusun militer menetapkan seseorang yang menikah dengan orang asing tidak bisa menjadi pemimpin negara dan pemerintahan. Hal ini dialami Aung San Suu-Kyi yang bersuami warga negara Inggris, Michael Aris (1946--1999).

China, yang membangun hubungan dekat dengan Myanmar saat berada di bawah kekuasaan militer dan sanksi Barat, mendukung kebijakan Pemerintah Myanmar.

Di Washington, pejabat AS mengatakan bahwa sanksi dan pemotongan bantuan termasuk di antara pilihan yang tersedia untuk menekan Myanmar menghentikan kekerasan tersebut tetapi mereka harus berhati-hati untuk mencegah terjadinya krisis.

"Kami tidak ingin mengambil tindakan yang memperburuk penderitaan mereka. Ada risiko di lingkungan yang rumit ini, "Patrick Murphy, seorang wakil asisten sekretaris negara, mengatakan kepada audiensi Komite Urusan Luar Negeri Perwakilan AS.

Murphy mengatakan bahwa upaya dilakukan untuk mengidentifikasi mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia. (skd)