Cerita horor mengenai buas dan kejamnya Myanmar terhadap Rohingya

id rohingya

Cerita horor mengenai buas dan kejamnya Myanmar terhadap Rohingya

Pengungsi Rohingya tiba di pantai setelah menyeberang dari Myanmar, di Teknaf, Bangladesh, Minggu (15/10/2017). (ANTARA/REUTERS/Jorge Silva )

Cox's Bazar, Bangladesh (antarasulteng.com) - Dua bocah Rohingya bersaudara --Mohamed Heron yang masih berusia enam tahun dan Akhter yang berusia empat tahun-- memperlihatkan luka bakar pada

tangan dan perut mereka yang disebut paman mereka akibat roket yang ditembakkan tentara Myanmar ke desa mereka.

Menurut sang paman bernama Mohamed Inus, dua bersaudara itu kehilangan dua saudaranya yang juga masih kecil, masing-masing bocah berumur tujuh tahun dan bayi berusia 10 bulan.

Ayah mereka ditangkap tentara Myanmar dan sampai kini tidak tahu nasibnya.

"Dua anak ini selamat saat desa kami ditembaki dengan roket," kata Inus kepada Reuters di Kamp Kutupalong, Cox’s Bazar, Bangladesh.

Kedua anak adalah di antara beberapa pengungsi Rohingya yang memperlihatkan luka yang mereka derita kepada fotografer Reuters yang mengunjungi Kamp Kutupalong, Balukhali, Leda dan Nayapara.

Berikut kisah-kisah horor lainnya di berbagai kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh, yang diceritakan kepada kantor berita Reuters.

Anwara Begum

Pagi itu, begitu bangun dari tidur, Anwara Begum (36) mendapati rumahnya di Kota Maungdaw di bagian paling utara negara bagian Rakhine, sudah dilalap api. Sebelum bisa meloloskan diri dari kepungan api, langit-langit rumah yang sudah terbakar jatuh menimpanya. Pakaian berbahan nilon yang dikenakannya terbakar untuk melelehi kedua tangannya.

Suaminya dengan sabar membawanya selama delapan hari perjalanan ke Kamp Kutupalong di Bangladesh.
"Saya sudah mengira bakal segera mati. Saya bertahan hidup demi anak-anak saya," kata dia.
Anwara kini masih menunggu kapan ada perawatan untuk luka bakar yang dideritanya.

Imam Hossain
Tangan kanan terbungkus kain tebal putih hingga di atas sikut, Imam Hossain (42) terbaring kelelahan di pinggir jalan dekat Kamp Kutupalong.
Beberapa hari sebelum itu, dia hendak pulang ke rumah setelah mengajar di sebuah madrasah di desanya, ketika tiga pria sambil menghunus golok berusaha menyerangnya.

Sehari kemudian, dia memutuskan mengajak istri dan kedua anaknya untuk meninggalkan rumah dan desanya bersama dengan tetangga-tetangga lain untuk mengungsi ke Bangladesh.
Dia kemudian tiba di Cox’s Bazar, Bangladesh. Hinggi kini dia tak putus mencari anggota keluarganya yang hilang.

"Saya mau tanya kepada pemerintah Myanmar mengapa mereka mencelakakan Rohingya," kata dia. "Mengapa warga Budha membenci kami? Mengapa kalian menyiksa kami? Apa salah kami?"

Mohamed Jabair
Dengan sekujur tubuh terbakar, Mohamed Jabair (21) sempat khawatir bakal buta akibat ledakan yang menghancurleburkan kampung halamannya.

Nyaris tidak sadar dan terbakar parah, Jabair dibawa saudara dan tetangganya menempuh empat hari perjalanan guna mencapai Cox’s Bazar.

"Selama berminggu-minggu saya buta dan dirawat di sebuah rumah sakit pemerintah di Cox’s Bazar selama 23 hari. Saya sempat takut akan buta selamanya," kata dia.

Jabair mengungkapkan kiriman uang dari saudaranya di Malaysia semakin menipis sehingga sudah tidak cukup lagi menanggung biaya perawatannya.

Nur Kamal
Membungkuk untuk menunjukkan bekas luka menganga yang melintang di kulit kepalanya, pemuda berusia 17 tahun itu menceritakan bagaimana serdadu-serdadu Myanmar menyiksa dia begitu si penjaga toko muda usia ini ketahuan bersembunyi di rumahnya di Desa Kan Hpu, Maungdaw.

"Mereka menghajar saya dengan popor senapan, langsung ke muka saya, dan kemudian dengan bayonet," kata Kamal. Pamannya mendapati dia terbujur bermandikan darah. Perlu waktu dua pekan bagi mereka untuk sampai di Bangladesh.

"Kami ingin keadilan. Kami ingin masyarakat internasional membantu kami menegakkan keadilan," jerit Kamal.

Kalabarow
Suami, anak perempuan dan anak lelaki dari perempuan ini tewas ketika serdadu-serdadu Myanmar membakar desanya di Maungdaw. Perempuan berusia 50 tahun itu ditembak tentara pada kaki kanannya.  Selama beberapa jam, dia terbaring di tempat dia jatuh, berpura-pura mati, sebelum cucunya menemukan dia dalam keadaan masih hidup.

Selama sebelas hari perjalanan menuju Bangladesh, seorang dokter di sebuah desa, terpaksa mengamputasi kakinya yang sudah sangat terinfeksi itu. Empat laki-laki memanggulnya dengan tandu terbuat dari bambu yang dialasi seprai.

"Saat kami berjalan melewati hutan, kami menyaksikan desa-desa yang terbakar dan mayat-mayat bergelimpangan. Saya sempat mengira kami tidak akan selamat," kata dia.

Abdur Rahaman
Abdur Rahaman, pedagang berusia 73 tahun asal Maungdaw, disergap di sebuah gunung bersama dengan pengungsi-pengungsi lain.

Sebuah golok dilayangkan ke kakinya hingga menghilangkan tiga jari kakinya ketika dia berusaha lari menyelamatkan diri dari para penyerangnya.

Dengan darah mengucur dari kaki yang dibalut kain sarung, Rahaman terus berjalan menjauhi calon pembunuhnya selama dua jam lebih, sebelum keponakan-keponakan dan sahabat-sahabatnya membawa dia menyeberangi perbatasan Myanmar-Bangladesh.

"Masa depan kami buruk. Allah pasti menolong kami. Masyarakat internasional mesti berbuat sesuatu."
 
Ansar Allah
Bocah berusia 11 tahun bernama Ansar Allah menunjukkan codetan besar nan hitam di paha kanannya, akibat dari tembakan senapan.

"Mereka memberondongkan peluru ke arah kami ketika rumah kami dilalap api," kata ibunya, Samara.
"Pelurunya sebesar jari telunjuk saya," kata dia. "Saya tak henti bertanya, mengapa Tuhan menempatkan kami pada situasi yang berbahaya ini?"

Setara Begum
Setara Begum (12) sedang bersama sembilan saudaranya yang lain di dalam rumah mereka di Maungdaw ketika tiba-tiba roket menghajar rumah mereka.

"Saya berhasil menyelamatkan delapan dari sembilan anak saya dari rumah yang terbakar, tetapi Setara terjebak di dalam rumah," kata sang ibu, Arafa.

"Saya melihat dia menangis di tengah jilatan api. Sulit menyelamatkan dia. Begitu kami bisa meraihnya, dia sudah terbakar parah sekali," kata Arafa.

Ayah Setara membawa si anak menempuh perjalanan dua hari ke Bangladesh.
Gadis ini tak kunjung dirawat. Luka pada kakinya memang sudah sembuh, tetapi dia harus hidup tanpa jari kaki.
Trauma yang amat dalam telah menyerang si gadis kecil.

"Dia membisu sejak hari itu, tak mau berbicara kepada siapa pun. Dia cuma bisa menangis diam-diam," kata ibunya.

Momtaz Begum
Dengan wajah diperban tebal, Momtaz Begum mengisahkan bagaimana tentara Myanmar datang ke desanya, meminta semua barang berharga milik warga desa diserahkan kepada mereka.

"Saya bilang pada mereka, saya orang miskin dan tak punya apa-apa. Seorang dari mereka lalu memukuli saya, kemudian berkata, 'Jika kamu tak punya uang, kami akan bunuh saja kamu."

Puas memukuli dia, tentara-tentara ini menguncinya dari luar rumah, lalu membakar atap rumah.
Momtaz beruntung selamat, namun mendapati tiga anak lelakinya sudah menjadi mayat, sedangkan anak perempuannya berdarah-darah karena terus dipukuli tentara.

Momtaz mengungsi ke Bangladesh di mana selama 20 hari dia dirawat di klinik MSF untuk mendapatkan perawatan atas luka bakar pada wajah dan tubuhnya.

"Apa yang bisa saya katakan tentang masa depan karena sekarang kami tak punya makanan, tak punya rumah, tak punya keluarga. Kami tak bisa lagi berpikir soal masa depan. Semua sudah hilang."  (skd)