Cox's Bazar, Bangladesh (antarasulteng.com) - Dua bocah Rohingya bersaudara
--Mohamed Heron yang masih berusia enam tahun dan Akhter yang berusia
empat tahun-- memperlihatkan luka bakar pada
tangan dan perut mereka yang disebut paman mereka akibat roket yang ditembakkan tentara Myanmar ke desa mereka.
Menurut
sang paman bernama Mohamed Inus, dua bersaudara itu kehilangan dua
saudaranya yang juga masih kecil, masing-masing bocah berumur tujuh
tahun dan bayi berusia 10 bulan.
Ayah mereka ditangkap tentara Myanmar dan sampai kini tidak tahu nasibnya.
"Dua
anak ini selamat saat desa kami ditembaki dengan roket," kata Inus
kepada Reuters di Kamp Kutupalong, Cox’s Bazar, Bangladesh.
Kedua
anak adalah di antara beberapa pengungsi Rohingya yang memperlihatkan
luka yang mereka derita kepada fotografer Reuters yang mengunjungi Kamp
Kutupalong, Balukhali, Leda dan Nayapara.
Berikut kisah-kisah
horor lainnya di berbagai kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh, yang
diceritakan kepada kantor berita Reuters.
Anwara Begum
Pagi
itu, begitu bangun dari tidur, Anwara Begum (36) mendapati rumahnya di
Kota Maungdaw di bagian paling utara negara bagian Rakhine, sudah
dilalap api. Sebelum bisa meloloskan diri dari kepungan api,
langit-langit rumah yang sudah terbakar jatuh menimpanya. Pakaian
berbahan nilon yang dikenakannya terbakar untuk melelehi kedua
tangannya.
Suaminya dengan sabar membawanya selama delapan hari perjalanan ke Kamp Kutupalong di Bangladesh.
"Saya sudah mengira bakal segera mati. Saya bertahan hidup demi anak-anak saya," kata dia.
Anwara kini masih menunggu kapan ada perawatan untuk luka bakar yang dideritanya.
Imam Hossain
Tangan
kanan terbungkus kain tebal putih hingga di atas sikut, Imam Hossain
(42) terbaring kelelahan di pinggir jalan dekat Kamp Kutupalong.
Beberapa
hari sebelum itu, dia hendak pulang ke rumah setelah mengajar di sebuah
madrasah di desanya, ketika tiga pria sambil menghunus golok berusaha
menyerangnya.
Sehari kemudian, dia memutuskan mengajak istri dan
kedua anaknya untuk meninggalkan rumah dan desanya bersama dengan
tetangga-tetangga lain untuk mengungsi ke Bangladesh.
Dia kemudian tiba di Cox’s Bazar, Bangladesh. Hinggi kini dia tak putus mencari anggota keluarganya yang hilang.
"Saya
mau tanya kepada pemerintah Myanmar mengapa mereka mencelakakan
Rohingya," kata dia. "Mengapa warga Budha membenci kami? Mengapa kalian
menyiksa kami? Apa salah kami?"
Mohamed Jabair
Dengan
sekujur tubuh terbakar, Mohamed Jabair (21) sempat khawatir bakal buta
akibat ledakan yang menghancurleburkan kampung halamannya.
Nyaris
tidak sadar dan terbakar parah, Jabair dibawa saudara dan tetangganya
menempuh empat hari perjalanan guna mencapai Cox’s Bazar.
"Selama
berminggu-minggu saya buta dan dirawat di sebuah rumah sakit pemerintah
di Cox’s Bazar selama 23 hari. Saya sempat takut akan buta selamanya,"
kata dia.
Jabair mengungkapkan kiriman uang dari saudaranya di
Malaysia semakin menipis sehingga sudah tidak cukup lagi menanggung
biaya perawatannya.
Nur Kamal
Membungkuk untuk
menunjukkan bekas luka menganga yang melintang di kulit kepalanya,
pemuda berusia 17 tahun itu menceritakan bagaimana serdadu-serdadu
Myanmar menyiksa dia begitu si penjaga toko muda usia ini ketahuan
bersembunyi di rumahnya di Desa Kan Hpu, Maungdaw.
"Mereka menghajar saya dengan popor senapan, langsung ke muka saya, dan kemudian dengan bayonet," kata Kamal. Pamannya mendapati dia terbujur bermandikan darah. Perlu waktu dua pekan bagi mereka untuk sampai di Bangladesh.
"Kami ingin keadilan. Kami ingin masyarakat internasional membantu kami menegakkan keadilan," jerit Kamal.
Kalabarow
Suami,
anak perempuan dan anak lelaki dari perempuan ini tewas ketika
serdadu-serdadu Myanmar membakar desanya di Maungdaw. Perempuan berusia
50 tahun itu ditembak tentara pada kaki kanannya. Selama beberapa jam,
dia terbaring di tempat dia jatuh, berpura-pura mati, sebelum cucunya
menemukan dia dalam keadaan masih hidup.
Selama sebelas hari
perjalanan menuju Bangladesh, seorang dokter di sebuah desa, terpaksa
mengamputasi kakinya yang sudah sangat terinfeksi itu. Empat laki-laki
memanggulnya dengan tandu terbuat dari bambu yang dialasi seprai.
"Saat
kami berjalan melewati hutan, kami menyaksikan desa-desa yang terbakar
dan mayat-mayat bergelimpangan. Saya sempat mengira kami tidak akan
selamat," kata dia.
Abdur Rahaman
Abdur Rahaman, pedagang berusia 73 tahun asal Maungdaw, disergap di sebuah gunung bersama dengan pengungsi-pengungsi lain.
Sebuah
golok dilayangkan ke kakinya hingga menghilangkan tiga jari kakinya
ketika dia berusaha lari menyelamatkan diri dari para penyerangnya.
Dengan
darah mengucur dari kaki yang dibalut kain sarung, Rahaman terus
berjalan menjauhi calon pembunuhnya selama dua jam lebih, sebelum
keponakan-keponakan dan sahabat-sahabatnya membawa dia menyeberangi
perbatasan Myanmar-Bangladesh.
"Masa depan kami buruk. Allah pasti menolong kami. Masyarakat internasional mesti berbuat sesuatu."
Ansar Allah
Bocah berusia 11 tahun bernama Ansar Allah menunjukkan codetan besar nan hitam di paha kanannya, akibat dari tembakan senapan.
"Mereka memberondongkan peluru ke arah kami ketika rumah kami dilalap api," kata ibunya, Samara.
"Pelurunya
sebesar jari telunjuk saya," kata dia. "Saya tak henti bertanya,
mengapa Tuhan menempatkan kami pada situasi yang berbahaya ini?"
Setara Begum
Setara
Begum (12) sedang bersama sembilan saudaranya yang lain di dalam rumah
mereka di Maungdaw ketika tiba-tiba roket menghajar rumah mereka.
"Saya
berhasil menyelamatkan delapan dari sembilan anak saya dari rumah yang
terbakar, tetapi Setara terjebak di dalam rumah," kata sang ibu, Arafa.
"Saya
melihat dia menangis di tengah jilatan api. Sulit menyelamatkan dia.
Begitu kami bisa meraihnya, dia sudah terbakar parah sekali," kata
Arafa.
Ayah Setara membawa si anak menempuh perjalanan dua hari ke Bangladesh.
Gadis ini tak kunjung dirawat. Luka pada kakinya memang sudah sembuh, tetapi dia harus hidup tanpa jari kaki.
Trauma yang amat dalam telah menyerang si gadis kecil.
"Dia membisu sejak hari itu, tak mau berbicara kepada siapa pun. Dia cuma bisa menangis diam-diam," kata ibunya.
Momtaz Begum
Dengan
wajah diperban tebal, Momtaz Begum mengisahkan bagaimana tentara
Myanmar datang ke desanya, meminta semua barang berharga milik warga
desa diserahkan kepada mereka.
"Saya bilang pada mereka, saya orang
miskin dan tak punya apa-apa. Seorang dari mereka lalu memukuli saya,
kemudian berkata, 'Jika kamu tak punya uang, kami akan bunuh saja kamu."
Puas memukuli dia, tentara-tentara ini menguncinya dari luar rumah, lalu membakar atap rumah.
Momtaz
beruntung selamat, namun mendapati tiga anak lelakinya sudah menjadi
mayat, sedangkan anak perempuannya berdarah-darah karena terus dipukuli
tentara.
Momtaz mengungsi ke Bangladesh di mana selama 20 hari dia
dirawat di klinik MSF untuk mendapatkan perawatan atas luka bakar pada
wajah dan tubuhnya.
"Apa yang bisa saya katakan tentang masa depan
karena sekarang kami tak punya makanan, tak punya rumah, tak punya
keluarga. Kami tak bisa lagi berpikir soal masa depan. Semua sudah
hilang." (skd)
Berita Terkait
JPU: Tiga WNA didakwa selundupkan imigran Rohingya ke Aceh
Rabu, 6 Maret 2024 15:54 Wib
Belasan warga Muslim Rohingya tewas akibat serangan tentara Myanmar
Minggu, 28 Januari 2024 16:30 Wib
Selidiki status pengungsi Rohingya sesuai aturan internasional
Senin, 15 Januari 2024 14:03 Wib
Dunia harus ambil tindakan konkret atas Myanmar
Minggu, 31 Desember 2023 13:25 Wib
Pengungsi Rohingya yang diduga memiliki KTP mesti ditelisik
Senin, 18 Desember 2023 14:10 Wib
Presiden Jokowi: Isu Rohingya relevan dibicarakan dalam KTT ASEAN-Jepang
Sabtu, 16 Desember 2023 10:30 Wib
Menlu RI: Akar masalah pengungsi Rohingya harus diselesaikan
Kamis, 14 Desember 2023 15:12 Wib
MenkumHam waspadai adanya pelanggaran HAM terkait pengungsi Rohingya
Senin, 11 Desember 2023 7:27 Wib