Seorang Perintis Sedih Sulteng Tidak Ekspor Kakao

id kakao, achrul, apindo

Seorang Perintis Sedih Sulteng Tidak Ekspor Kakao

Pemerintah daerah tampaknya terlena dengan hasil tambang
Palu, (antarasulteng.com) - Seorang perintis perkakaoan di Provinsi Sulawesi Tengah, Achrul Udaya mengatakan sangat sedih karena daerahnya sebagai penghasil kakao terbesar di Kawasan Timur Indonesia (KTI) tidak lagi mengekspor kakao langsung dari pelabuhan Pantoloan.

"Dalam kurun beberapa tahun ini, Sulteng sudag tidak ekspor kakao lagi," katanya di Palu, Selasa.

Padahal, kata mantan Kepala Cabang PT Sucofindo Palu itu, daerah ini merupakan produsen kakao terbesar di KTI, tetapi ironisnya tidak lagi mengekspor kakao.

Dahulu, kata dia, biji kakao produksi petani di Sulteng hanya diantarpulaukan ke Surabaya dan dari situ baru diekspor ke berbagai negara di Asia, Amerika dan Eropa.

Sementara hasilnya kebanyakan dinikmati para pengusaha di Surabaya.

Agar bisa mengekspor langsung kakao petani Sulteng ke berbagai negara, Achrul mengatakan mengajak beberapa eksportir dari luar untuk masuk ke Kota Palu.

Pada 14 Maret 1994, Sulteng untuk pertama kali mengekspor biji kakao langsung dari Pelabuhan Pantoloan Palu, sekitar 23 kilometer utara Ibu Kota Provinsi Sulteng ke negara tujuan.

Sejak itulah, beberapa eksportir dari Makassar dan Surabaya berlomba-lomba menanamkan investasi di sektor komoditas kakao dan volume eksporpun setiap tahunnya meningkat.

Pada 1994, katanya, volume ekspor kakao tercatat 50.000 ton, meningkat menjadi 75.000 ton (1995) dan hingga pada 2000-an naik hingga pernah mencapai 150.000 ton.

Komoditas kakaopun selama beberapa tahun menjadi komoditas unggulan dan penyumbang devisa terbesar ekspor non-migas Provinsi Sulteng.

Namun dia menyayangkan dalam beberapa tahun terakhir hingga medio November 2017, ekspor kakao Sulteng nihil.

"Kita tidak lagi mengekspor kakao," kata Achrul yang juga Kepala Bidang Perdagangan Kamar Dagang Indonesia (KADIN) Provinsi Sulteng itu.

Sekarang ini, seluruh produksi petani hanya bisa diantarpulaukan ke Makassar dan Surabaya.

"Kita kembali lagi dari sebelumnya antarpulau kakao menjadi ekspor langsung kakao dan kembali lagi antarpulau kakao," katanya sedih.

Achrul mengaku sedih karena untuk berjuang ekspor kakao langsung dari Pelabuhan Pantoloan tidak mudah. Mendatangkan investor dari luar itu tidak semudah membalikan telapan tangan.

Karena itu, ia meminta pemerintah daerah untuk memberikan perhatian terhadap masalah dimaksud dan tidak terinabobokan pada ekspor komoditas tambang.



Tampaknya pemerintah daerah sudah terlena dengan ekspor komoditas tambang yang setiap tahunnya meningkat. Sementara komoditi lain seperti kakao yang dahulunya primadona ekspor tidak lagi diperhatikan.

Data Dinas Perkebunan Sulteng menyebutkan luas areal tanaman kakao di provinsi ini sekitar 291.445 hektare dengan produksi per tahunnya mencapai 250.000 ton.

Harga biji kakao kering di tingkat pedagang pengumpul saat ini berkisar Rp26.000/kg. Saat terjadi krisis moneter 1998, harga kakao di tingkat petani pernah naik hingga mencapai Rp30.000/kg.