Produktivitas kebun sawit Indonesia rendah dan 'high cost'

id GAPKI,Swit,biaya tinggi

Produktivitas kebun sawit Indonesia rendah dan 'high cost'

Ketua Umum GAPKI Joko (Antarasulteng.com/Istimewa)

Jakarta (Antaranews Sulteng) - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Suprijono mengatakan bahwa Indonesia harus bisa memanfatkan potensi permintaan global 5 juta minyak nabati per tahun hingga 2025 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Indonesia.

Saat berbicara pada pengukuhan Pengurus GAPKI periode 2018-2023 di Hotel Pullman Jakarta, Sabtu, Joko mengatakan bahwa peluang pertumbuhan permintaan tersebut bisa direalisasikan dengan mengamankan, menjaga dan mengembangkan pasar.

"Selain dukungan pemerintah, perlu kerja keras semua pemangku kepentingan untuk memanfaatkan momentum tersebut," ujarnya.

Hanya saja, kata Joko, sejumlah persoalan seperti rendahnya produksi CPO, iklim berusaha yang tidak kondusif serta pasar yang tidak ramah, masih terus membayangi perkelapasawitan di negeri ini.

Secara nasional, katanya, produktivitas sawit di Indonesia belum maksimal. Data Masyarakat Sawit Indonesia (Maksi) menunjukkan produktivitas nasional sawit Indonesia berada pada peringkat ke-4 di bawah Malaysia, Kolombia dan Thailand.

"Indonesia hanya lebih baik dari Nigeria. Bahkan production cost tisp ton CPO produksi perusahaan Indonesia yang terbaik pun masih kalah dengan perusahan Malaysia yang terjelek,” kata Joko.

Baca juga: Ini dia pengurus lengkap GAPKI 2018-2023

Faktor lain yang dihadapi Indonesia adalah tingginya biaya akibat berbagai hal seperti infrastruktur, perizinan, biaya sosial dan keamanan. Hal itu sulit dihindari namun juga sulit dipecahkan. Hal inilah yang mungkin dikeluhkan Presiden Jokowi.

Padahal berbagai regulasi dan perizinan yang sudah diperbaiki, namun investasi tidak juga berjalan dengan cepat.

"Persoalan ini, terutama terjadi di pemerintah daerah. Kita sudah 'complain' dengan perizinan tapi masih disalahkan. Kita sudah memenuhi semua persyaratan sesuai prosedur, tapi izin tidak kunjung terbit," kata Joko lagi.

Pasar yang tidak ramah juga masih akan membayangi industri sawit kedepan. Bahkan, pada 2017, India yang merupakan pasar ekspor terbesar Indonesia memberlakukan hambatan tarif yang cukup besar. 

Begitu juga dengan pasar Eropa sebagai 'market share' yang cukup besar, dari waktu ke waktu selalu memunculkan berbagai hambatan perdagangan baik yang bersifat tarif maupun nontarif.
 
Kelapa Sawit (antaranews)