Jusuf Kalla tak acuhkan keriuhan survei cawapres

id jk

Jusuf Kalla tak acuhkan keriuhan survei cawapres

Jusuf Kalla (antaranews)

Jakarta, (Antaranews Sulteng) - Nama Muhammad Jusuf Kalla ramai diusung dalam sejumlah survei untuk mencari kandidat pendamping Joko Widodo dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) pada 2019 mendatang.

Setidaknya, sejak awal tahun 2018, tiga hasil survei telah menempatkan nama Wapres Jusuf Kalla di posisi teratas sebagai kandidat calon wapres pendamping Presiden Joko Widodo, yang sangat diperkirakan bakal akan melanjutkan kepemimpinannya di periode kedua.

Dalam beberapa kesempatan, JK, panggilan akrab Jusuf Kalla, mengaku tidak lagi berminat untuk bertarung dalam Pemilu lagi.

JK punya tiga hal yang membuatnya enggan menempati posisi orang nomor dua di Indonesia; yaitu usia, kondisi kesehatan dan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang membuat dia tidak dapat lagi menjabat sebagai wapres untuk ketiga kalinya.

"Seperti yang saya katakan, saya sendiri tentu ingin istirahat. Saya ini mempertimbangkan juga dari segi umur, biar yang muda-muda lah. Dan, apalagi masalah konstitusi sudah menetapkan hal seperti itu, yang soal harus dua kali itu," kata Jusuf Kalla.

Kepiawaian JK dalam memimpin sebuah negara memang tidak diragukan lagi. Dia pernah menjabat sebagai wapres Indonesia ke-10 mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004 - 2009 dan kini sebagai wapres ke-12 bersama Presiden Jokowi pada 2012 - 2019.

Belum lagi, kemampuan dalam bidang ekonomi dan perdamaian konflik menjadi nilai tambah bagi JK untuk kembali dipinang Jokowi dalam Pilpres tahun depan.

Meskipun tidak lagi ingin mendampingi Jokowi dalam Pilpres 2019, JK mengatakan akan memberikan dukungannya kepada Jokowi pada saat Pilpres 2019 nanti. Terkait seperti apa dan bagaimana bentuk dukungan tersebut, Kalla sedang memikirkan hal itu.

 "Pak Jokowi kan masih muda dibanding saya, ya otomatis beliau akan maju. Tentu kita mendukung beliau, bagaimana caranya, ya nanti kita lihat," ucapnya.

JK kunci penting

Rekomendasi Kalla menjadi kunci penting bagi Jokowi untuk memilih nama cawapres untuk kepemimpinannya di periode kedua 2019 - 2024.

Dengan pengalamannya memenangi pemilu dua kali, Kalla pun membeberkan kriteria cawapres yang dapat membawa suara terbanyak pada Pilpres 2019 nanti.

Menurut JK, ada dua kriteria penting yang harus diperhatikan Jokowi dalam memilih pendamping; yakni popularitas dan kapabilitas atau kemampuan dalam memimpin sebuah negara.

Pertama, tokoh yang harus dipilih Jokowi harus memiliki popularitas tinggi guna menambah faktor elektabilitas dalam proses pencalonan. Nama cawapres Jokowi harus dapat membawa hasil survei dengan elektabilitas mencapai sedikitnya 50 persen.

"Kalau masih calon, dia (cawapres) harus bisa menambah elektabilitas pasangannya. Jadi, harus dengan pasangan ini, (surveinya) harus bisa mencapai di atas 50 persen," katanya.

Kedua, tokoh tersebut harus memiliki kemampuan kepemimpinan setara dengan Jokowi; sehingga ketika calon tersebut telah terpilih sebagai wapres, maka dapat menjalankan roda pemerintahan apabila terjadi sesuatu dengan presiden di tengah masa kepemimpinannya.

 "Yang kedua, kalau terpilih maka harus bisa bekerja dengan baik untuk membantu presiden. Oleh karena itu, kualitasnya harus sama atau hampir sama dengan presiden sendiri. Dari pengalaman yang ada, termasuk di negara kita, jabatan wapres itu bisa menjadi presiden seperti Habibie dan Megawati," jelasnya.

Apabila cawapres memiliki popularitas tetapi tidak mampu bekerja, maka akan berbahaya. Sebaliknya, meskipun cawapres tersebut memiliki kemampuan memimpin yang baik tetapi tidak populer, maka akan sulit untuk terpilih.

"Jadi, dua hal itu harus menjadi satu kesatuan; harus bisa meningkatkan elektabilitas pasangan dan harus bisa bekerja untuk membantu presiden dalam tugasnya sehari-hari," katanya.
    
Tergantung tafsir konstitusi


Beberapa hasil survei menggaungkan kembali nama Jusuf Kalla untuk maju dalam pencalonan capres-cawapres di Pemilu 2019.

Survei Poltracking pada pertengahan Februari lalu menunjukkan nama JK memperoleh elektabilitas hingga 15,9 persen.

Hasil survei Public Opinion & Populi Research (Populi) Center di bulan yang sama juga menunjukkan nama Jusuf Kalla masih diminati untuk menjadi cawapres Jokowi dalam Pilpres 2019, dengan perolehan angka 15,3 persen.

Terbaru, survei Litbang Kompas menyebutkan 66,2 persen dari pendukung Joko Widodo menginginkan Jusuf Kalla kembali mendampingi Jokowi dalam Pilpres 2019.

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan sepertinya tidak ingin berisiko dengan mengambil nama baru sebagai cawapres Jokowi. Meskipun terkendala amanat konstitusi Undang-undang Dasar 1945, PDI Perjuangan berupaya mencari tafsir atas pasal 7 yang mengatur terkait pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden.

Bunyi pasal tersebut ialah, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, untuk satu kali masa jabatan".

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, yang juga mantan sekretaris jenderal "Partai Banteng" itu, mengatakan bunyi pasal tersebut masih multitafsir, sehingga masih ada kemungkinan jabatan wapres dapat dipangku lebih dari dua kali masa jabatan.

"Saya secara lisan sudah diskusi dengan Ketua KPU (Arief Budiman) dan tim kami di Kemendagri sudah mencoba menelaah, karena apakah pengertian dua kali atau dua periode itu berturut-turut atau tidak. Ya kalau perlu, minta fatwa MK karena kan itu menyangkut (hukum) tata negara," kata Tjahjo Kumolo.

Harapan PDIP untuk dapat menggandeng lagi Jusuf Kalla dalam Pilpres juga diamini oleh Presiden Joko Widodo. Dalam sebuah rekaman acara 'talk show' di sebuah televisi swasta, Jokowi mengisyaratkan ingin menggandeng lagi Jusuf Kalla dalam Pemilu 2019.

"Ya kenapa tidak kalau memang undang-undang, konstitusi membolehkan, kenapa tidak? Beliau termasuk yang terbaik, Pak JK. Beliau menurut saya yang terbaik," kata Jokowi.

Terkait pernyataan Jokowi tersebut, JK pun menghargainya karena dirinya masih masuk dalam pertimbangan Presiden dalam mencari cawapres. Kondisi politik menjelang pendaftaran capres dan cawapres sangat dinamis, dan bisa berubah sewaktu-waktu

"Nanti kita pikirkan. Tetapi kan konstitusinya berbunyi begitu. Ya nanti kita perhatikan, lihat lah (nanti)," ujar Jusuf Kalla.