Dinkes Banggai pelototi 10 desa dengan prevalensi 'stunting' cukup tinggi

id banggai,stunting,Dinkes

Dinkes Banggai pelototi 10 desa dengan prevalensi 'stunting' cukup tinggi

Ni Ketut Narsih S.Km, Kepala Bidang Bina Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Banggai. (Antaranews Sulteng/Stevan Pontoh)

Luwuk (Antaranews Sulteng) - Dinas Kesehatan Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, memberikan perhatian khusus kepada 10 desa yang diketahui mempunyai prevalensi cukup tinggi terkait penderita 'stunting' atau gangguan pertumbuhan pada anak yang menyebabkan tubuhnya pendek.
     
"Kami kini memelototi 10 desa itu untuk terus menekan angka penderita stunting," kata Ni Ketut Narsih S.Km, Kepala Bidang Bina Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Banggai di Luwuk, Selasa.

Upaya ini merupakan komitmen Dinkes Banggai untuk menyukseskan program pemerintah pusat dalam menuntaskan kasus stunting pada 100 kabupaten/kota prioritas, salah satunya adalah Kabupaten Banggai. 

Ia menyebutkan, pada 2018 ini, pihaknya bekerja sama dengan Universitas Hasanuddin dalam melakukan pendataan penderita stunting di Kabupaten Banggai. 

Berdasarkan data tahun sebelumnya, dari 10 desa yang dipantau, Dinkes baru menerima data penderita sunting dari 8 desa dengan total penderita stunting mencapai 128 anak.

Desa-desa itu adalah Desa Dondo Soboli dengan penderita 7 orang, Balanga 11 orang, Koili 6 orang, Jayabakti 53 orang, Boitan 1 orang, Lontos 17 orang, Indang Sari 14 orang, Mantan B, 2 orang, Bolobungkang 7 orang, dan Batu Simpang 10 orang. 

Angka tersebut jauh menurun jika dibandingkan tahun 2013 yang berdasarkan rilis Sekretariat Negara, jumlah balita stunting saat itu mencapai 11.728 dengan prevelansi stunting 35,39 persen.

Menurut Narsih, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan stunting, salah satunya adalah kemiskinan, kemudian kekurangan asupan gizi saat bayi dalam kandungan, serta pola asuh yang salah. 

"Yang memengaruhi itu ada beberapa hal. Saat mengandung, asupan gizinya tidak mencukupi, kemudian asupan ASI kurang, itu juga tidak baik. Kan menyusui itu seharusnya sampai dua tahun," ujarnya.

Saat ini, Dinkes Banggai terus memantau kondisi pada 10 desa yang menjadi lokus penderita stunting bahkan telah melakukan pengujian pada penderita stunting di Desa Teku, Kecamatan Balantak Utara terhadap siswa kelas tiga sekolah dasar. 

Baca juga: 25,9 Persen Balita Sulteng `Stunting`

"Hasilnya tinggi badan para siswa masuk kategori tidak normal dengan pertumbuhan dan usia. Itu diduga karena asupan gizi saat hamil kurang, ditambah asupan ASI saat menyusui juga memengaruhi, atau dalam kata lain pola asuh anak tidak tepat," terangnya.

Selain kemiskinan, beberapa faktor yang dapat memengaruhi tumbuh kembang anak adalah kebersihan dan lingkungan masyarakat. 

Untuk menekan kasus stunting, kata Narsih, semua pihak harus besinergi mulai dari pemerintah, keluarga hingga lingkungan masyarakat.

Kegiatan pemerintah selain memprioritaskan program yang dapat mengurai faktor penyebab stunting juga melalui pembuatan aturan. 

Saat ini, Dinkes tengah menyusun Peraturan Bupati (Perbup) mengenai ASI ekslusif dan Insiasi Menyusui Dini (IMD). Aturan nantinya diharapkan bisa mendorong peran seluruh lembaga untuk mencegah terjadinya stunting.

"Banyak ibu saat ini tidak mau menyusui karena menganggap menyusui dapat memengaruhi kekencangan payudara sehingga mengandalkan susu botol pada anak, padahal itu tidak baik," ujarnya.

Kabupaten Banggai telah fokus mengatasi stunting sejak tahun 2016 dan terus diefektifkan di bawah kepemimpinan Kepala Dinas Kesehatan setempat DR. dr. Anang S. Otoluwa.
 
Ilustrasi (Antaranews Sulteng/Istimewa)