Penetapan ganti rugi Karhutla timbulkan ketidakpastian hukum

id karhutla,pusaka alam,astra

Penetapan ganti rugi Karhutla timbulkan ketidakpastian hukum

Suasana diskusi publik Pusaka Alam membahas Eksaminasi proses hukum perkara kebakaran kebun sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan kaidah ilmiah, di Bogor, Selasa (17/7). (Antaranews Sulteng/Humas Pusaka Alam)

Bogor (Antaranews Sulteng) - Praktik hukum dalam proses penetapan ganti rugi atas kebakaran hutan dan lahan di areal kebun sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang berpedoman pada PMLH No 7 Tahun 2014 masih menimbulkan ketidakadilan hukum dan ketidakpastian hukum. 

Hal itu, karena belum jelasnya norma-norma hukum tentang proses penetapan ganti rugi, standar dan ukuran kerusakan lingkungan hidup dari sisi komponen fisik, biotik dan sosial, otoritas institusi dan/atau tenaga ahli.

Ketidakjelasan lain yakni belum adanya standar dalam penetapan nilai ganti rugi kerusakan lingkungan hidup yang adil dan tepat sesuai kaidah ilmiah, dan kejelasan hukum pembuktian perbuatan melawan hukum (PMH).

Pernyataan itu mengemuka dalam diskusi bertema bertema “Eksaminasi proses hukum perkara kebakaran kebun sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan kaidah ilmiah, di Bogor, Selasa (17/7). Hadir sebagai pembicara antara lain, pakar hukum keuangan negara Dr Dian Puji Simatupang, pakar kebijakan/hukum kehutanan Dr Sadino, pakar valuasi ekonomi Dr Bahruni Ms dan pakar hukum Hotman Sitorus. 
 
Mengacu pada pasal 33 UUD 1945, kata Dian, pemahaman lingkungan seharusnya tidak dimaknai sebagai dimiliki negara melainkan dikuasai negara. Kalau lingkungan diklaim sebagai milik negara, berarti harus dicatatkan dalam aset negara dan bisa diklaim biayanya.

"Hal itu juga berarti menimbulkan tanggung jawab negara untuk untuk memelihara,” kata Dian. 

Menurut Dian, jika aturan itu  dipaksakan, seharusnya, korporasi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas sesuai yang bukan miliknya, ketika terjadi suatu bencana.

Dian menambahkan, untuk mendapatkan kepastian hukum maka perlu ada batasan konseptual tentang frasa “kerugian” dalam rumusan norma hukum dan peraturan perundangan  antara kerugian negara, kerugian keuangan negara dan kerugian lingkungan hidup.

 “Diperlukan kejelasan rumusan norma hukum tentang dampak kebakaran sebagai “kerugian privat” dan“kerugian publik”.”

Sementara itu, Sadino mengingatkan, jika kerusakan lingkungan dianggap sebagai kerugian negara, perlu diatur  penetapan kerugian lingkungan hidup sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),  yakni wajar, memulihkan dan tidak menghambat kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat. 

“Konsekuensinya, tenaga ahli yang dipercaya untuk menghitung nilai kerugian lingkungan hidup  harus berpedoman pada prinsip PNBP dan standar kualifikasi kompetensi keahliannya harus ditetapkan secara terukur untuk menghindari ketidakpastian hukum dan tegaknya keadilan,” kata Sadino.

Secara hirarki hukum, kedudukan materi muatan PMLH No 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup sebagai dasar hukum dalam penetapan tarif/nilai ganti rugi sebaiknya diatur di dalam Peraturan Pemerintah agar memiliki kedudukan hukum yang lebih kuat. 

Bahruni mengatakan, untuk lebih menjamin kepastian dan keadilan hukum, maka ketentuan yang terkait hak  “milik privat” dan “tanggungjawab Negara” terhadap areal kebun sawit dan HTI sebagai areal konsesi harus diatur lebih rinci dan terukur, serta benar-benar dijadikan sebagai acuan dalam proses penegakan hukum dan penetapan tarif/nilai ganti rugi kerusakan lingkungan hidup dari kasus kebakaran kebun sawit dan HTI. 

Hotman Sitorus mengingatkan, Pemerintah dalam kedudukan sebagai salah satu pihak yang memiliki hak gugat terhadap kasus kebakaran hutan dan lahan disarankan lebih memainkan peran sebagai pembina terhadap para pihak yang terkait dengan kebakaran hutan dan lahan, sehingga dimensi hukum tertinggi yang diterapkan terkait gugatan adalah hukum administrasi/TUN. (Humas Pusaka Alam)