Catatan dari Sosialisasi Pemilu 'Goes to Campus'

id Pemilu2019,KPUSulteng,Goes to Kampus

Catatan dari Sosialisasi Pemilu 'Goes to Campus'

Sosialisasi Pemilu 2019 'Goes to Campus' menghadirkan tiga narasumber, dari kanan ke kiri yakni Komisioner KPU dua periode Sahran Raden, SH, MH, pakar aliran pemikiran Islam dari IAIN Palu Dr Lukman S Tahir, MA dan pakar politik dari Universitas Tadulako Dr Darwis, M.Si, (ajwir)

Pemilu dari waktu ke waktu semakin dinamis. Selain semakin ketatnya seleksi calon legislatif khususnya kepada koruptor dan pelaku narkoba, politik di tanah air juga diwarnai dengan masuknya ulama di panggung politik.
Palu (Antaranews Sulteng) - Sosialisasi Pemilu 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Tengah semakin kreatif dengan membidik kelas pemilih pemula. 

Salah satunya dikemas dalam acara Goes to Campus selama dua hari. Pertama kali digelar di Kampus IAIN Palu, Rabu (8/8). KPU mengemasnya secara entertain edukatif, yakni menggabungkan berbagai jenis hiburan dan dialog serta lomba cerdas cermat kepemiluan.

Sebelum dialog dengan menghadirkan narasumber pakar di bidangnya, kelompok seniman di kampus diberi ruang untuk menampilkan kemampuannya di bidang seni musik. Ada group band dengan vokalis yang hebat, akuistik dan stand up comedy Pemilu yang mengocok perut peserta dan civitas akademika IAIN Palu.

Pada sesi dialog, KPU menghadirkan tiga narasumber yakni pakar politik dari Universitas Tadulako Dr Darwis, M.Si, pakar aliran pemikiran Islam dari IAIN Palu Dr Lukman S Tahir, MA dan Komisioner KPU dua periode Sahran Raden, SH, MH.

Selain menyajikan materi Pemilu dari perspektif legalitas dan struktural, dialog itu juga berkembang luas terkait politik dan demokrasi berdasarkan perspektif keilmuan narasumber. 

Lukman S Tahir melihat pemilu dari perspektif agama. Menurutnya, masyarakat yang memutuskan untuk tidak memilih alias golput adalah tindakan yang tidak bertanggungjawab, sebab memilih adalah bagian dari tanggungjawab itu sendiri.

Mantan rektor Unisa Palu itu mengatakan memilih pemimpin itu adalah dianjuran oleh Nabi Muhammad. 

Menurutnya demokrasi di Indonesia jauh lebih baik dibanding di sejumlah negara di Timur Tengah. Lukman mengatakan demokrasi juga sejalan dengan ajaran Islam. Hal ini secara subtansi dapat dilihat dari penolakan Islam atas otoritarianisme.

Lukman juga meminta mahasiswa mengawal demokrasi dan mengawal para wakil pilihan rakyat secara sungguh-sungguh sehingga ada kontrol yang kuat terhadap para wakil rakyat yang dipilih secara berdaulat itu.

Berbeda dengan Dr Darwis. Dosen Fisip Untad ini menilai bahwa kedaulatan saat ini cenderung tergerus dan terputusnya mata rantai pelibatan publik dalam proses demokrasi.

Dia mencontohkan saat pendaftaran calon legislatif oleh partai politik, tidak ada pelibatan masyarakat. Partai politik sibuk dengan mengurus para calon legislatifnya sendiri tanpa kehadiran masyarakat. Tetapi saat pemilihan baru masyarakat dilibatkan.

Demikian halnya di DPRD. Fraksi sebagai perpanjangan suara partai tidak menjadi alat kelengkapan DPRD. Padahal setiap keputusan politik ditentukan oleh fraksi. 
    
Darwis menilai, Pemilu dari waktu ke waktu semakin dinamis. Selain semakin ketatnya seleksi calon legislatif khususnya kepada koruptor dan pelaku narkoba, politik di tanah air juga diwarnai dengan masuknya ulama di panggung politik.

Meski demikian Darwis menilai bahwa Pemilu maupun Pemilihan Kepala Daerah masih cenderung berwatak pragmatis sehingga tercipta iklim transaksional. "Ini yang merusak demokrasi kita," katanya.

Sementara itu Komisioner Sahran Raden, selain menyampaikan landasan hukum pemilu beserta tahapan dan segala yang melingkupinya, Sahran juga mengemukakan isu-isu strategis Pemilu.

Setidaknya lima isu strategis pada pemilu yakni presidential thereshold, parliamentary thereshold, sistem pemilu terbuka, distrik berwakil banyak dan dapil magnitut.

Lima isu itu paling sering menjadi diskusi, perdebatan bahkan berujung di Mahkamah Konstitusi.

Sejumlah mahasiswa IAIN misalnya, mempertanyakan presidential thereshold 20 persen dan parliamentary thereshold 2,5 persen. Menurut mereka, ambang batas itu dapat mengebiri hak-hak demokrasi warga negara. Sehingga tidak heran, pemilihan presiden hanya kemungkinan diikuti dua calon presiden.

Menanggapi hal itu, Sahran Raden meski secara keilmuan tidak sependapat dengan 20 persen ambang batas presidential, tetapi sebagai penyelenggara, dirinya harus taat pada aturan.***