Pasigala Centre tolak 5.000 babinsa fasilitator rehabilitasi

id pasigala

Pasigala Centre tolak 5.000 babinsa fasilitator rehabilitasi

Arsip Foto, Pasigala Centre minta pemerintah pusat harus segera merespon dan memecahkan tuntutan korban gempa dan likuifaksi di Kelurahan Balaroa, Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng). (zonautara.com)

Penggunaan aparat militer sebagai fasilitator dalam tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi itu menunjukan bahwa perspektif BNPB dalam menangani bencana masih dalam paradigma tanggap darurat
Palu,  (Antaranews Sulteng) - Pasigala Centre menolak penggunaan 5.000 Babinsa sebagai fasilitator oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Sulawesi Tengah(Sulteng).

"Penggunaan aparat militer sebagai fasilitator dalam tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi itu menunjukan bahwa perspektif BNPB dalam menangani bencana masih dalam paradigma tanggap darurat," kata Sekjen Pasigala Centre, Andika,di Palu, Selasa.

Menurut dia, pascabencana dampak yang timbul itu bersifat sosial dan antropologis. Menjadi salah kaprah, ketika negara justru hendak mendorong pendisiplinan lewat mobilisasi aparatur militer.

"Penggunaan Babinsa sebagai fasilitator bencana itu justru menunjukan kesan bahwa negara hendak memaksakan semua maksud dan rencananya agar masyarakat korban mau mengikuti rencana yang telah dibuat tanpa partisipasi korban itu," kata Andika.

Yang dimaksud dengan negara hadir dalam bencana itu adalah memberikan ruang yang lebih luas pada pemerintah daerah, provinsi, kabupaten, kota, dan aparatur sipil, birokrat untuk terlibat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi.

Bagi Andika, pelibatan pemerintah daerah dalam konteks desentralisasi sistem` penanganan kebencanaan, agar terjadi proses pembelajaran dalam konteks kesiap-siagaan bencana.

"Kami khawatir, penggunaan aparat militer dalam kerja-kerja pendampingan rehabilitasi dan rekonstruksi akan berjalan kontra produktif dengan enam strategi penanganan bencana yang disampaikan BPresiden Jokowi, di Jawa Timur pada beberapa hari yang lalu," ujarnya.

Politisi PSI itu menilai, negara diperlukan hadir dalam bencana itu sebagai upaya untuk saling belajar dengan pelibatan seluruh stakeholder daerah, birokrat, dan juga rakyat untuk sama-sama melewati tahapan rehab-rekon.

Sebaliknya, menurut dia, penggunaan aparat militer menunjukan suatu pola sentralisasi penanganan bencana yang tidak mungkin mencapai substansi pembelajaran mitigatif.

"Pola militerisasi bersifat berdaya paksa dan belum ada cerita ada proses partisipatif di dalamnya. Yang ada adalah kehendak mendisiplinkan orang untuk mau mengikut rencana yang telah dibuat lembaga-lembaga ?donor pemberi hutang seperti Bank Dunia, ADB, dan JICA," kata Andhika.

Baca juga: Pasigala Centre : pemerintah segera `respon` tuntutan korban likuefaksi Balaroa
Baca juga: Pemerintah didorong integrasikan dana desa untuk pemulihan pascabencana Sulteng
Baca juga: LSM: perlu badan khusus tangani dana pinjaman Bank Dunia