BI: Ekonomi Sulteng 2018 tetap tumbuih meski dilanda bencana besar

id BI,Sulteng,Ekonomi,2018

BI: Ekonomi Sulteng 2018 tetap tumbuih meski dilanda bencana besar

Kepala Kantor Bank Indonesia Perwakilan Sulawesi Tengah Miyono memaparkan kondisi perekonomian di Sulteng dalam Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Februari 2019 di Press Room Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sulteng, Jumat siang (22/3). (Antaranews Sulteng/Muh. Arsyandi)

Palu (ANTARA) - Perekonomian di Sulawesi Tengah pada 2018 masih tetap tumbuh dengan angka yang cukup menggembirakan sekalipun empat daerah yakni Kota Palu, Kabupoaten Sigi, Donggala dan Parigi Moutong  didera bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuefaksi pada 28 September 2018.

Bank Indonesia (BI) Perwakilan Palu mencatat secara tahunan, perekonomian di Sulteng tahun 2018 tumbuh 6,30 persen, sesuai dengan proyeksi awal di kisaran 6,1 sampai 6,5 persen.

"Walaupun mengalami penurunan dibanding tahun 2017 yakni 7,10 persen, saya kira pertumbuhan ekonomi di Sulteng terutama di tiga daerah tersebut cukup tinggi sebab masih sanggup tumbuh pascabencana yang cukup besar," kata Kepala Kantor Perwakilan BI Sulteng Miyono saat memaparkan Kajian Ekonimi dan Keuangan Regional Sulteng awal 2019 di Palu, Jumat.

Menurut Miyono tidak mudah meraih angka tersebut di tengah duka yang masih berbekas di hati dan ingatan warga di tiga daerah itu apalagi tidak sedikit dari warga yang kini kehilangan tempat tinggal dan harta benda sehingga terpaksa tinggal di tenda pengungsian dan hunian sementara (huntara).

Sementara itu secara triwulan pada Triwulan IV 2018 , ekonomi Sulteng tumbuh 5,37 persen, melambat dibanding triwulan sebelumnya 7,05 persen. Perlambatan itu disebabkan faktor gempa, tsunami dan likuefaksi," ucapnya.

Miyono menjelaskan sektor ekonomi yang paling terpuruk akibat bencana tersebut sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat antara lain perdagangan, akomodasi yakni perhotelan dan restoran serta pertanian.

"Sedangkan sektor yang menopang pertumbuhan ekonomi adalah industri pengolahan dan pertambangan yang dikarenakan kinerja ekspor gas amonia dan hilirisasi lanjutan pabrik stainless steel yakni Hot Rolled Coiled (HRC) dan Clod Rolled Coiled (CRC) yang masih cukup baik," imbuhnya.

Sementara inflasi Sulteng pada Desember 2018 tercatat 6,46 persen, lebih tinggi dibanding September yang hanya 2,52 persen.

Peningkatan inflasi disebabkan oleh faktor gempa, tsunami dan likuefaksi yang mengakibatkan menurunnya produksi bahan makanan, terhambatnya distribusi barang-barang konstruksi dan meningkatnya permintaan pada beberapa jenis kebutuhan pokok masyarakat.

"Kita tahu sendiri kan, waktu bencana bahan-bahan makanan susah didapat bahkan tidak ada yang menjual saat itu. Harga bahan-bahan bangunan juga sempat mahal karena banyak dibeli warga untuk memperbaiko rumahnya. Tapi itu sudah teratasi," katanya.
 
Aktivitas bongkar muat barang di Pelabuhab Pantoloan Kota Palu berangangsur pulih pascagempa dan tsunami melanda Pali-Donggal dan Sigi (28/9). Pelabuhan pantoloan menjadi pusat pembongkaran logistik bantuan korban gempa dari jalur laut. (Foto:Antara/Moh Ridwan)