Sumber Air Minumku Tercemar Merkuri?

id mercuri cemari air minum

Sumber Air Minumku Tercemar Merkuri?

Seorang buruh angkut membawa material galian ke lokasi pengolahan tambang emas Poboya, Palu, Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu. (ANTARA/Zainuddin)

...kandungan merkuri pada air sungai Poboya mencapai 0,004 ppm hingga 0,005 part per million (ppm), atau jauh dari ambang batas normal yang mencapai 0,001 ppm."
Palu (antarasuleng.com) - Pada awal 2011, sepuluh ekor sapi milik warga Kota Palu, Ibu Kota Sulawesi Tengah, ditemukan mati medadak setelah menenggak air Sungai Poboya yang mengandung limbah merkuri (Hg) atau sianida (Cn) dari limbah pengolahan tambang emas tradisional Poboya.

Beberapa pekan sebelumnya, tiga sapi milik warga juga tewas. Penyebabnya diperkirakan sama.

Pemilik sapi mengaku telah mendapat ganti rugi sejumlah uang dari pemilik tong (pengolahan batuan emas) yang berada di sekitar Poboya.

Ini membuktikan bahwa pemilik tong mengaku kalau penyebab kematian belasan sapi milik warga itu adalah karena minum air sungai mengandung racun limbah bahan kimia.

Dinas Kesehatan Kota Palu telah menguji air sungai laboratorium di Makassar tentang kandungan sianida, merkuri atau zat kimia lain yang berbahaya.

Demikian pula dengan PDAM Donggala yang pelanggannya sekitar 30 ribu rumah tangga di Kota Palu dan sekitarnya, juga telah melakukan uji sampel air terkait adanya isu pencemaran zat kimia berbahaya.

Hasilnya mencengangkan, kandungan merkuri pada air sungai Poboya mencapai 0,004 ppm hingga 0,005 part per million (ppm), atau jauh dari ambang batas normal yang mencapai 0,001 ppm.

Bahkan sejumlah bak penampungan air milik PDAM Donggala juga tercemar akibat kebocoran pipa yang berada di sekitar Sungai Poboya.

Penggunaan sianida dan merkuri di bidang pertambangan adalah hal yang lumrah, namun jika penggunanya adalah masyarakat awam maka hal itu akan rawan menimbulkan pencemaran lingkungan, seperti yang terjadi di kawasan pertambangan tradisional Poboya saat ini.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah berulang kali mengingatkan pemerintah setempat tentang bahaya pertambangan emas tradisional Poboya jika tidak dikelola secara tertib dan ramah lingkungan.

Letak pengolahan emas yang berada di dekat sungai jelas akan mencemari air.

Pemilik tong dan tromol (tong ukuran kecil) diduga membuang limbah pengolahan emas ke sungai. Namun sebagian kecil ada juga pemilik tong yang membuang limbah ke bak penampungan. Bak penumpang yang dibuat hanyalah berupa lekukan tanah mirip empang sehingga limbahnya bisa meresap ke aliran sungai.

Dalam jangka panjang pencemaran air sungai akan semakin parah. "Jika sekarang hanya berpengaruh pada sapi, ke depannya mungkin akan mengancam jiwa manusia," kata mantan Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Tengah Wilianita Selviana.

Pendapat itu sangatlah beralasan karena PDAM Donggala memiliki sumber air di sekitar perbukitan Poboya. Sebagian besar penduduk Kota Palu mengandalkan air bersih dari PDAM Donggala.

Pipa sumber air minum yang melintas di Poboya sebagian rusak dan bocor akibat penambangan emas yang tidak beraturan.

Sumber air PDAM terletak di Kelurahan Kawatuna dan Kelurahan Lasoani letaknya hanya beberapa kilometer dari pusat pengolahan emas Poboya.

Bahkan sejumlah pipa sering bocor atau putus akibat tertimpa batu yang ditambang masyarakat sehingga air sungai yang diduga tercemar limbah berbahaya sempat masuk ke pipa rusak dan mengalir ke rumah-rumah pelanggan PDAM.

Saat ini dampak buruk air minum belum dirasakan warga. Namun warga mulai khawatir jika nasibnya sama seperti belasan sapi di Kawatuna.

Direktur Utama PDAM Kabupaten Donggala Ali Abdullah juga mengaku khawatir jika limbah-limbah pengolahan emas mulai menyusup ke sumber air PDAM.

PDAM juga mengaku telah. mengirim sampel air ke Makassar untuk diperiksa seberapa banyak kandungan sianida atau merkuri di dalam air. Hasilnya sudah disebutkan di atas.

Berdasarkan penuturan seorang penjualan sianida di Perusahaan Daerah Kota Palu mengatakan penambang emas tidak hanya menggunakan sianida untuk memudahkan pemisahan emas dari pasir halus.

Para penambang juga menggunakan merkuri (air raksa) dan air keras. Air raksa digunakan untuk memisahkan emas dari perak yang menempel setelah diolah menggunakan sianida.

Tidak hanya itu, penambang juga menggunakan boraks, kapur, dan karbon untuk memudahkan proses kimia sianida saat memisahkan emas dari butiran pasir.

Lalu dibuang ke mana sisa pengolahan berbagai zat kimia berbahaya itu? Di sekitar perbukitan Poboya terdapat sungai yang airnya mengalir jernih berkilauan saat terkena sinar matahari. Kilau air itu berasal dari jernihnya air, kuningnya emas atau kilaua limbah air raksa. Hingga saat ini belum ada penelitian lebih lanjut.

Achmad Muchsin, yang pernah bekerja di tromol Poboya mengatakan, hanya sebagian kecil pemilik tromol yang mengolah limbah sesuai petunjuk Pemerintah Kota Palu.

Pemilik tromol seharusnya membuang limbah di bak pengolahan, tidak langsung dibuang di saluran air atau sungai. Pengusaha tromol harus memiliki ijin usaha, analisis mengenai dampak lingkungan, serta ijin-ijin lainnya.

"Berbagai ijin itu nilainya mencapai Rp20 juta. Olehnya warga malas mengurus ijin," kata Achmad yang sudah menjalani bisnis pertambangan selama dua tahun.

Saat ini jumlah tromol yang beroperasi di Poboya berjumlah lebih 11 ribu unit, dan 300 lainnya adalah tong.

Satu perusahaan pengolahan emas biasanya memiliki dua tong atau 10 hingga 40 tromol.

Sementara pengusaha emas tradisional di Poboya jumlahnya mencapai 15.000 orang yang terdiri 8.000 orang penambang, dan sisanya bekerja di tromol dan tong, atau buruh angkut.



Sianida ilegal



Dari sekian banyak tong dan tromol itu ternyata hanya sekitar 125 tong yang tercatat di Perusahaan Daerah Kota Palu.

Sebanyak 125 tong itulah yang berhak membeli sianida dan berbagai bahan kimia lainnya yang diperlukan untuk mengolah batuan emas.

Namun dari 125 pengusaha tong itu tidak lebih dari separuhnya yang membeli sianida di Perusahaan Daerah Kota Palu.

Lalu dari mana pengusaha lainnya membeli sianida? Sementara Perusahaan Daerah Kota Palu adalah satu-satunya instansi yang berhak menjual zat kimia berbahaya itu.

Pejabat Perusahaan Daerah Kota Palu, Sahid Cadde, mengaku penjualan sianida ilegal di Poboya makin marak.

"Ini yang harus ditelusuri oleh polisi, dari mana asalnya sianida itu," katanya beberapa waktu lalu.

Para pembeli sianida ilegal itu lah yang diduga mencemari sungai dan lingkungan Poboya.

Sampai kapan ini terjadi? Pemerintah Kota Palu sudah jelas menyatakan bahwa penambang emas di lahan seluas hampir 40 hektare itu adalah ilegal.

Kuasa pertambangan emas Poboya yang luasnya mencapai 38 ribu hektare saat ini adalah milik PT Citra Palu Minerals (CPM), anak perusahaan Bumi Resources Mineral milik Bakrie Group.

Poboya memang lahan subur untuk memanen emas, tetapi dibalik kesuburan itu muncul ancaman kerusakan lingkungan yang hebat serta ancaman bagi makhluk hidup di sekitarnya.

Warga Kota Palu banyak yang mengkonsumsi air PDAM. Meski telah dimasak sebelumnya racun sianida dan merkuri tidak mudah hilang begitu saja. Sementara harga air minum bermerek mencapai Rp10 ribu hingga Rp25 ribu per galon.

Sampai kapan masyarakat akan mampu menyisihkan uangnya untuk minum air mineral galon bermerek. Akhirnya mereka mengkonsumsi air minum isi ulang seharga Rp3.000 yang sumbernya tidak jelas meski di dinding terpampang jelas ijin dari Dinas Kesehatan setempat.

Dampak mengkonsumsi air tercemar sianida atau merkuri memang tak bisa diketahui dalam waktu singkat tapi beberapa tahun kemudian.

Jangan sampai nasib tragis belasan sapi menimpa warga Kota Palu dan sekitarnya karena mengkonsumsi air tak sehat. (R026)