Pengamat IPI: pelaksanaan pileg dan pilpres sebaiknya dipisah

id Pengamat, evaluasi pemilu, pileg dan pilpres, dipisah, Karyono Wibowo

Pengamat IPI: pelaksanaan pileg dan pilpres sebaiknya dipisah

Pengamat politik dari Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo (kanan). (ANTARA Foto/Syaiful Hakim)

Tingkat kerumitan secara teknis pelaksanaan hingga pemungutan suara menjadi salah satu pertimbangan untuk mengevaluasi sistem pemilu serentak ini,
Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik dari Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo berpendapat pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden ke depannya sebaiknya dipisah untuk mengantisipasi terjadinya ratusan KPPS yang meninggal akibat kelelahan.

"Tingkat kerumitan secara teknis pelaksanaan hingga pemungutan suara menjadi salah satu pertimbangan untuk mengevaluasi sistem pemilu serentak ini," kata Karyono, di Jakarta, Jumat.

Di sisi lain, lanjut dia, terjadi kesenjangan antusiasme pemilih lebih besar ke pilpres dibanding pileg.

Terlebih, terkait banyaknya korban pelaksanaan pemilu dari kalangan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), yang diungkap KPU telah mencapai 230 orang wafat dan 1.730 menderita sakit.

Oleh karena itu, kata dia, ada tiga pendapat yang dominan muncul terkait wacana perubahan sistem pemilu ini. Pertama, mengurangi "presidential threshold", tetapi memisahkan kembali Pileg dan Pilpres untuk Pemilu selanjutnya.

Pendapat kedua, mengurangi "presidential threshold" tanpa mengubah sistem Pemilu serentak atau masih sama seperti tahun ini, yaitu menggunakan perolehan suara Pileg sebelumnya.Dan ketiga, menghapus "presidential threshold" secara total.

"Saya lebih sepakat apabila presidential threshold sedikit dikurangi. Yang terpenting, Pileg dan Pilpres kembali dipisah karena presidential threshold masih diperlukan agar pemerintahan memiliki dukungan parlemen yang kuat," tutur Karyono.

Hal itu, tambah Direktur IPI ini, mutlak diperlukan agar pemerintahan berjalan efektif. Asalkan, ambang batas parlemen jangan lagi dibuat terlalu besar.

"Saya setuju PT dikurangi saja. Kalau dihapuskan atau nol persen, itu jadi ultra-liberal nanti. Jumlah PT sekitar 10 - 15 persen itu masih bisa menghadirkan calon alternatif. Karena untuk memperkuat sistem presidensial juga. Pemerintah mau tidak mau kan juga butuh dukungan parlemen. Sebab, jika seandainya PT 0 persen, lalu yang terpilih adalah kandidat yang tidak memiliki dukungan politik yang cukup kuat di parlemen maka bisa berpotensi menimbulkan pemerintahan yang lemah," paparnya.

Baca juga: Pengamat: pasangan capres nomor urut 02 tidak "out of the box"
Baca juga: Pengamat: Jokowi-Ma'ruf harus kerja keras meski unggul di survei
Baca juga: Pengamat sebut Demokrat tak "All Out" dukung Prabowo-Sandi