Belajar Menata Halal Dari Negeri Gajah

id halal, makanan

Belajar Menata Halal Dari Negeri Gajah

Jakarta, (antarasulteng.com) - Winai Dahlan, cucu pendiri Organisasi Kemasyarakat Islam terbesar di Tanah Air Muhammadiyah Ahmad Dahlan, patut diberi apresiasi lantaran mampu menghilangkan keraguan umat Muslim terhadap produk makanan halal dana haram di Thailand.

Winai Dahlan bin Irfan Dahlan memang sudah lama bermukim di negeri gajah putih atau Thailand itu.

Ia lahir di negeri itu karena orangtuanya, Irfan Dahlan, menjalankan tugas sebagai penyebar Islam. Kedua orangtua Winai menetap di Bangkok, Thailand sejak 1930-an.

Lepas dari historis akan perjuangan orangtuanya, yang menarik dari diri Winai Dahlan adalah perjuangannya menjaga, melindungi dan memperjuangkan seluruh umat Islam dan pendudukan di negeri itu agar memperoleh makanan yang halal, sehat dan baik. Terhindari dari makanan yang kemungkinan bisa menimbulkan penyakait.

Umat Muslim di Thailand saat ini kisarannya berjumlah tujuh juta jiwa.  

Jauh sebelum umat Islam bertambah banyak, puluhan tahun lalu Winai sudah memikirkan dan mencari jalan keluar agar umat Islam dan warga setempat dapat mengonsumsi makanan halal dan baik.

Padahal, seperti dimaklumi, di negeri itu banyak beredar makanan haram yang sudah tentu harus dijauhi oleh umat Islam. Mayoritas warga Thailand adalah pemeluk agama Buddha.

Winai di negeri itu dikenal sebagai pria rendah hati dan menyelesaikan pendidikannya pun diraih dengan prestasi yang baik pula, mendapat gelar doktor di bidang Biologi Medikal Terapan dari Universite Libre de Bruxxelles, Belgia dengan predikat magna cum laude.

Winai sempat menjadi peneliti dan pengajar di Faculty of Allied Health Sciences pada Chulalongkorn University, Thailand. Winai sudah lama memiliki ketertarikan terhadap penelitian produk makanan dan minuman halal.

Lagi pula soal kehalalan produk makanan dan minuman yang akan dikonsumsi merupakan hal yang sangat penting bagi umat Islam.

Dari catatan media online disebutkan bahwa pada 1994, Winai mengembangkan teknik analisa mengenai halal food dengan metode-metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Inisiatif mulia tersebut disambut baik oleh Chulalongkorn University yang pada tahun 2004 dengan mendirikan The Halal Science Center, Chulalongkorn University (HSC-CU) dengan dukungan Pemerintah Kerajaan Thailand.

Institusi itu kemudian menjadi salah satu badan penelitian pertama di dunia dengan spesialisasi bidang sains halal food. Tujuan pendiriannya adalah untuk membantu Komite Islam Thailand dalam melaksanakan misinya, terutama dalam sebagai Halal Certification Agency.

Dalam melakukan tugasnya, HSC-CU membangun jaringan dan kerjasama dengan laboratorium sains halal lain di dunia untuk kepentingan umat dan ilmu pengetahuan.  

Seluruh kegiatan tersebut sepenuhnya mendapat dukungan pemerintah, termasuk pendanaannya.

Selain itu, HSC-CU telah berperan aktif memimpin Working Group on Halal Products and Services (HAPAS) dalam kerangka Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT).

Perjuangan Winai yang simpatik di negeri itu pantas mendapat apresiasi.

Tentu saja jika ada warga Indonesia melakukan wisata kuliner, bakal dijumpai rumah makan bertuliskan halal.

Sekalipun pemilik restoran bukan seorang Muslim, tulisan halal yang dikeluarkan pemerintah merupakan jaminan bahwa makanan bersangkutan baik, bebas dari bakteri atau dari sisi ilmu kesehatan makanan itu bersih, bebas penyakit (higienis)

Rakyat bingung

Lalu bagaimana dengan pengaturan halal di Tanah Air? Sampai kini pembahasannya seperti jalan tak pernah berujung, masih terjadi tarik-menarik.


Siapa yang memiliki kewenangan untuk itu. Rakyat pun seperti dibuat bingung. Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat bersikap bijaksana dalam membuat Rancangan Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal (RUU-JPH).

Menurut Ketua MUI Bidang Fatwa, K.H. Ma'ruf Amin, sertifikat jaminan produk halal hendaknya dikeluarkan oleh satu lembaga saja untuk mencegah agar tidak terjadi kebingungan di masyarakat bila ada perbedaan pendapat.

Mengenai sertifikasi halal, kata dia, sebaiknya tetap di tangan MUI karena sudah terbukti teruji selama 24 tahun. Standar halal MUI sudah diakui secara internasional.

Karena itu pemerintah tak perlu ikut campur dalam penentuan sertifikasi halal.

Menaggapi itu Wakil Menteri Agama (Wamenag) Prof Nasaruddin Umar mengatakan, pemerintah tak mengambil peran Majelis Ulama Indonesia (MUI), apa lagi memperkecil lembaga ulama ini karena sudah memiliki domain atau wilayah masing-masing terkait dalam penyusunan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) .

Pemerintah tak pernah dan tak akan mengambil peran MUI. Sebab, yang paling tahu urusan syariah adalah para ulama. Dan dari segi substansinya pun pemerintah tak ikut campur dalam urusan halal dan haram. Tiap agama di Indonesia, lanjut dia, juga punya majelis masing-masing dan hingga kini Kementerian Agama tak ikut campur.

Namun, lanjut dia, pemerintah pun harus memberikan peran karena di dalamnya terkait dengan hukum positif yang menjadi domain pemerintah. Jadi, ada kapling masing-masing.

Sebelumnya Menteri Agama Suryadharma Ali mengakui peran MUI kedudukannya dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) sangat besar.

MUI tetap dilibatkan, bukan sekedar pemberian lebel atau legalisasi terhadap suatu produk yang akan dipasarkan.

RUU JPH merupakan inisiatif DPR tersebut diharapkan dapat memberikan kepastian produk halal bagi umat muslim. RUU tersebut merupakan implementasi pasal 28 dan pasal 29 UUD 1945, yakni kewajiban negara untuk melindungi hak warga negara dalam menjalankan keyakinan dan ajaran agamanya.

Hal itu juga melalui pertimbangan sosiologis, mengingat dewasa ini banyak beredar produk makanan, minuman, obat dan kosmetik yang belum terjamin kehalalannya. Di Thailand peran pemerintah dalam produk halal demikian besar. Lalu, apa yang ditakuti jika pemerintah ikut berperan dalam JPH bagi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini.