Regulasi Kawal "Kartini" Ke Parlemen

id kartini

Regulasi Kawal "Kartini" Ke Parlemen

Ilustrasi (antaranews)

Semarang,  (antarasulteng.com) - Masihkah kaum hawa memiliki peluang besar menduduki minimal 30 persen dari total kursi di badan legislatif jika Pemilihan Umum 2014 masih menggunakan sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak?
Sejarah perpolitikan di Indonesia, khususnya bab emansipasi di panggung politik bagi kaum wanita dan pria di Tanah Air ini sampai sekarang belum pernah mencapai rasio yang ideal, 50:50. Bahkan, hingga Pemilu 2009 belum mencapai 30 persen.

Padahal, sebelum pelaksanaan Pemilu 2009, Pemerintah menerbitkan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang ini lebih banyak memuat kebijakan "affirmative action"  keterwakilan 30 persen kuota perempuan.

Bahkan, menjadi salah satu persyaratan partai politik kontestan Pemilu 2009, yakni menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat (Pasal 8 Ayat 1 Huruf d).  
Partai juga harus melampirkan surat keterangan tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen (Pasal 15 Huruf d). Daftar bakal calon legislator pun paling sedikit 30 persen dari total bakal caleg (Pasal 53).

Akan tetapi, hasil Pemilu 2009 belum memenuhi kuota meski persentasenya meningkat menjadi 18 persen dari Pemilu 2004 sebanyak 12 persen dari total anggota DPR RI.

Kali ini, ada nuansa lain dalam persiapan Pemilu 2014. Komisi Pemilihan Umum telah mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 07 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPR Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Salah satu konsideransnya adalah UU No. 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menerapkan sistem proporsional terbuka (Pasal 5).

Sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK), nomor urut calon anggota legislatif (caleg) sangat menentukan dalam pemilihan calon terpilih, sebagaimana diatur di dalam Pasal 214 UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Kemungkinan besar jika menerapkan sistem tersebut, lalu memadukannya dengan Peraturan KPU No. 07/2013 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPR Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, kuota perempuan di parlemen bakal tergapai, bahkan melebihi jatah tersebut.

Sebagaimana diatur di dalam Pasal 11 Huruf b Peraturan KPU No. 07/2013 disebutkan dalam pengajuan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, parpol wajib memperhatikan, antara lain, daftar bakal calon menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil).

Pasal 11 Huruf d disebutkan pula bahwa urutan penempatan daftar bakal calon perempuan, yaitu setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan bakal calon.

Jika partai politik tidak mampu memenuhi syarat tersebut, tidak bisa ikut berkompetisi di daerah pemilihan (dapil) pada Pemilu 2014. Ketentuan ini termaktub di dalam Pasal 27 Ayat (2) Huruf b menyatakan parpol tidak memenuhi syarat pengajuan daftar bakal calon pada suatu daerah pemilihan apabila tidak memenuhi syarat sebagaimana Pasal 24 Ayat (1) Huruf d dan Ayat (2) Peraturan KPU No. 07/2013.

Di dalam Pasal 24 Ayat (1) Huruf d disebutkan penempatan sekurang-kurangnya satu orang bakal calon perempuan dari setiap tiga orang bakal calon. Kemudian, Ayat (2) disebutkan dalam hal parpol telah memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan dan menempatkan sekurang-kurangnya satu nama bakal calon perempuan dalam setiap tiga nama bakal calon pada nomor urut yang lebih kecil, parpol dinyatakan telah memenuhi syarat.

Namun, perempuan yang berada pada nomor urut yang lebih kecil itu belum menjamin mereka menjadi wakil rakyat karena MK melalui putusannya Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Perkara Permohonan Pengujian UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945 telah mengubah tata cara penetapan caleg pada Pemilu 2009 yang sebelumnya berdasarkan nomor urut (Pasal 214) menjadi suara terbanyak.

Dengan demikian, "affirmative action" atau hukum dan kebijakan yang mensyaratkan keterwakilan perempuan minimal 30 persen itu sepenuhnya berada di tangan rakyat yang notabene warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih pada Pemilu 2014.   
Oleh karena itu, 15 partai calon peserta Pemilu 2014--12 partai nasional dan tiga partai lokal Aceh--tidak sekadar mengajukan perempuan sebagai bakal caleg atau hanya untuk memenuhi syarat ikut pemilu di setiap dapil, tetapi betul-betul menyeleksi mereka agar rakyat memilih perempuan menjadi anggota Dewan.

Mereka yang memenuhi asa rakyat di masing-masing dapil kemungkinan besar akan terpilih sebagai wakil rakyat pada pemilu mendatang.

Nah, hal itu merupakan "domain"-nya parpol peserta Pemilu 2014, khususnya dalam menentukan bakal caleg mereka. Apakah tolok ukur dalam penentuan perempuan sebagai bakal calon anggota Dewan itu sudah sesuai dengan kehendak rakyat atau malah sebaliknya?
Tampaknya parameter dalam perekrutan bakal caleg tersebut bakal menentukan mulus-tidaknya kaum hawa ke parlemen, di samping penegakan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu secara konsisten dan konsekuen.(SKD)