Pendapatan per kapita Indonesia tertinggal akibat konsumsi listrik datar

id pembangkit listrik,konsumsi listrik,pendapatan per kapita

Pendapatan per kapita Indonesia tertinggal akibat konsumsi listrik datar

Kepala Kantor Perwakilan ThorCon International Pte Ltd, Bob S Effendi (kanan) saat berbicara pada acara "Indonesia Power Generation Convention & Exhibition 2019" di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (27/11/2019). ANTARA/HO-Thorcon International

Pertumbuhan konsumsi listrik sangat berpengaruh pada pertumbuhan PDB suatu negara
Jakarta (ANTARA) - Banyak yang tidak menyadari bahwa Indonesia telah tertinggal jauh dari negara-negara lain yang sebelumnya memiliki pendapatan per kapita pada tahun 1960-an di bawah Indonesia seperti Korea Selatan, China dan Malaysia.

Kepala Kantor Perwakilan ThorCon International Pte Ltd, Bob S Effendi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis, mengatakan kondisi tersebut karena Indonesia memiliki tingkat konsumsi listrik yang bergerak datar (flat) sehingga mengakibatkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tidak bisa bergerak naik secara signifikan dibanding negara-negara lainnya yang bergerak naik 3 - 10 kali lipat.

"Pertumbuhan konsumsi listrik sangat berpengaruh pada pertumbuhan PDB suatu negara," kata Bob Effendi saat berbicara pada acara Indonesia Power Generation Convention & Exhibition 2019 di Jakarta.

Bob Effendi yang menjadi salah satu pembicara pada forum tersebut mengatakan China dan Malaysia yang konsumsi listriknya bergerak naik mengakibatkan pertumbuhan PDB di kedua negara tersebut ikut naik dan tumbuh.

Sedangkan, Korea Selatan sejak pertumbuhan konsumsi listriknya naik secara signifikan sekitar tahun 1985, PDB-nya meroket naik jauh meninggalkan negara lainnya.

Salah satu faktor penting mengapa pertumbuhan konsumsi listrik Korea Selatan dapat meroket naik menurut Bob adalah karena tingkat konsumsi listrik di Korea Selatan tidak mengandalkan konsumsi listrik rumah tangga sebagai yang utama, tetapi mengandalkan konsumsi listrik dari sektor industri yang membutuhkan kapasitas yang besar.

"Begitu pula negara lainnya. Hal tersebut berbanding terbalik dengan keadaan di Indonesia yang mana masih mengandalkan konsumsi listrik rumah tangga sebagai yang utama bukan dari sektor industri karena memang pertumbuhan industri Indonesia cenderung terus turun," tutur Bob.

Pada tahun 2018, pertumbuhan konsumsi listrik di Indonesia per kapita selama sembilan tahun terakhir naik hampir 1,8 kali dan baru mencapai sekitar 1.064 kWh/tahun. Dengan angka tersebut, UNDP mencatat Indonesia pada tahun 2018 menduduki peringkat 116 dari 189 negara dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 0,694. Masih jauh di bawah IPM level negara maju yakni sekitar 0,9.

Semua ketertinggalan tersebut mengakibatkan Indonesia berada dalam middle income trap (jebakan negara-negara berpendapatan menengah) bersama negara-negara terbelakang lainnya.

Bob menyatakan bahwa jika Indonesia menginginkan level kesejahteraan paling sedikit seperti negara tetangga Malaysia, maka Indonesia harus sudah merencanakan pembangunan pembangkit listrik dengan kapasitas besar dalam kurun waktu yang singkat.

Kondisi sekarang menunjukkan kapasitas terpasang sudah mencapai 62,5 GW dengan konsumsi listrik 1.064 kWh/tahun/kapita yang masih jauh dari angka level kesejahteraan yang dinyatakan oleh UNDP berada di angka 4.000 kWh/kapita.

Bob menambahkan agar level kesejahteraan mencapai 4.000KWh/kapita, maka dibutuhkan sekitar empat kali dari konsumsi listrik terpasang sekarang di Indonesia. Kira-kira tambahan kapasitas terpasang yang dibutuhkan sekitar 190 GW.

Untuk mengejar pertumbuhan Malaysia, Indonesia perlu membangun kapasitas terpasang 10 GW/tahun. Sedangkan, untuk mengejar Korea Selatan, Indonesia perlu membangun 15-18 GW/tahun. Padahal saat ini 35 GW saja sulit tercapai, apalagi 190 GW. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka Indonesia akan sulit untuk mengejar level kesejahteraan.

Kekurangan tersebut harus dipenuhi dalam kurun berapa tahun, tergantung dari seberapa besar niat pemerintah untuk mengejar ketertinggalan tersebut agar Indonesia dapat mencapai level sejahtera dan dapat keluar dari middle income trap.

"Untuk mencapai target tersebut diperlukan pembangkit listrik skala besar yang andal, terjangkau, dan bersih yang hanya dapat diberikan oleh PLTN," tutup Bob.

ThorCon, perusahaan desain reaktor asal AS, selama ini mengklaim dapat memenuhi keinginan pemerintah melalui investasi dengan skema Independent Power Producer (IPP) dengan nilai investasi sebesar Rp17 triliun, dengan target harga jual listrik yang kompetitif dibandingkan pembangkit batubara sehingga dapat menaikkan kebutuhan sektor industri.