Revisi UU Pemilu dalam mencari desain kepemiluan 2024

id Revisi UU Pemilu

Revisi UU Pemilu dalam mencari desain kepemiluan 2024

Presiden Joko Widodo saat mengunjungi Pameran Foto “Membangun Indonesia” di Mall Neo Soho, Central Park, Jakarta, Selasa (12-11-2019). ANTARA/Bayu Prasetyo

Jakarta (ANTARA) - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama pemerintah dan DPD RI telah menyetujui sebanyak 50 rancangan undang-undang (RUU) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2020, salah satunya adalah merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

UU Pemilu tersebut menjadi payung hukum pelaksanaan Pemilu 2019 yang terdiri atas pemilu presiden (pilpres) dan pemilu anggota legislatif (pileg) yang dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia.

Pemilu 2019 yang dilakukan secara serentak menghadirkan lima pemilihan sekaligus, mulai presiden/wakil presiden, DPR RI, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, dan DPD RI.

Keserentakan pileg dan pilpres tertuang dalam UU Pemilu Pasal 167 Ayat (3) yang disebutkan bahwa pemungutan suara dilakukan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional. Selain itu, keserentakan Pemilu 2019 juga diatur dalam Pasal 347 Ayat (1) UU Pemilu, yaitu pemungutan suara pemilu dilaksanakan secara serentak.

Aturan dalam UU Pemilu tersebut merupakan tindak lanjut Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013, mahkamah menilai norma pelaksanaan pilpres yang dilakukan setelah pileg telah nyata tidak sesuai dengan semangat UUD NRI Tahun 1945 dan makna pemilihan umum yang dimaksud Pasal 22E ayat (1), (2), dan Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Namun, dalam pelaksanan Pemilu 2019, diwarnai berbagai persoalan seperti meninggalnya ratusan anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) karena teknis pemungutan dan penghitungan suara terlalu panjang dan melelahkan.

Masalah lain adalah pemilih dihadapi kebingungan dalam memilih calon anggota legislatif karena fokus masyarakat adalah pilpres. Pada Pemilu 2019, pemilih harus mencoblos lima surat suara dalam satu waktu. yaitu presiden/wakil presiden, DPR RI, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, dan DPD RI sehingga menimbulkan kebingungan dalam menentukan pilihannya.

Kebingungan para pemilih tersebut diduga menjadi penyebab tingginya suara tidak sah dalam Pemilu 2019. Misalnya, suara sah Pilpres 2019 sebanyak 154.257.601, sedangkan suara tidak sah berjumlah 3.754.905. Sementara itu, suara sah Pileg 2019 sebanyak 139.971.260, sedangkan suara tidak sah mencapai 17.503.953.

Desain Kepemiluan

Berbagai persoalan dalam pelaksanaan Pemilu 2019 mendapatkan respons dari kalangan partai politik. Mayoritas setuju adanya pemisahan pelaksanaan pilpres dan pileg agar memperkuat sistem presidensial yang berjalan di Indonesia.

Wacana pemisahaan penyelenggaraan pileg dan pilpres diungkapkan Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto dalam Munas 2019 Partai Golkar.

Airlangga Hartarto menyampaikan beberapa rekomendasi politik yang bisa dilakukan oleh partainya selama 5 tahun ke depan, salah satunya perubahan UU Pemilu untuk memisahkan penyelenggaraan pilpres dan pileg.

Ia juga mendorong penyempurnaan sistem pemilu yang membuka peluang bagi kemenangan Partai Golkar di dalam pemilu mendatang, termasuk dengan sistem proporsional tertutup.

Sekretaris Fraksi PPP DPR RI Achmad Baidowi mengatakan bahwa partainya telah menyiapkan enam poin revisi UU Pemilu, salah satunya memisahkan pelaksanaan pilpres dan pileg.

Namun, dia menilai pemisahan tersebut harus menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) karena saat ini ada pihak yang mengajukan uji materi terkait dengan ketentuan tersebut.

Pernyataan Baidowi tersebut merujuk pada langkah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang mengajukan uji materi terhadap UU Pemilu dan dua perubahan UU Pilkada, yaitu UU No. 8/2015 dan UU No. 10/2016. Permohonan Perludem teregistrasi dalam Perkara No. 55/PUU-XVII/2019.

Perludem mengusulkan pemilu serentak tingkat nasional diikuti oleh presiden/wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI, sementara untuk pemilu serentak daerah diikuti kepala daerah dan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Baidowi menjelaskan bahwa usulan pemisahan pelaksanaan pileg dan pilpres karena kendala di lapangan yang sangat kompleks ketika keduanya disatukan.

Menurut dia, ketika pileg dan pilpres disatukan, pelaksanaannya hingga dini hari atau melewati tanggal 17 April sehingga membuat penyelenggara pemilu kelelahan.

Selain itu, "gaung" pileg kalah dengan pilpres sehingga kampanye yang dilakukan para caleg tidak maksimal.

Sekretaris Fraksi Partai NasDem Saan Mustofa mengatakan bahwa fraksinya mengusulkan agar revisi UU Pemilu memasukan poin pemisahan penyelenggaraan pilpres dan pileg.

Menurut dia, fraksinya sudah melakukan kajian mendalam terkait dengan pelaksanaan Pemilu 2019. Misalnya, ratusan KPPS meninggal dunia ketika melaksanakan tugas sehingga pihaknya menyimpulkan perlu dilakukan pemisahaan penyelenggaraannya.

Ia menilai pemisahan penyelenggaraan pileg dan pilpres agar beban kerja penyelenggara pemilu ringan karena yang diinginkan adalah mengutamakan kualitas penyelenggaraannya.

Saan yang merupakan Wakil Ketua Komisi II DPR RI juga menilai penyelenggaraan pemilu serentak membuat masyarakat hanya fokus pada pilpres, sedangkan pileg tidak terlalu mendapatkan perhatian.

Namun, yang perlu diingat, pelaksanaan Pemilu 2024, masyarakat tidah hanya lima pemilihan sekaligus mulai dari presiden/wakil presiden, DPR RI, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, dan DPD RI,  ditambah kepala daerah.

Oleh karena itu, revisi UU Pemilu yang masuk dalam Prolegnas 2020 akan mengatur terkait dengan pileg, pilpres, dan pilkada sehingga wacana omnibus law menguat untuk diterapkan dalam UU Kepemiluan.

Desain kepemiluan untuk Pemilu 2024 juga menjadi persoalan. Misalnya, usulan Perludem yaitu desain keserentakan pemilu yang ideal adalah pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah atau lokal.

Usulannya adalah pemilu serentak tingkat nasional diikuti oleh presiden/wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI, sementara untuk pemilu serentak daerah diikuti kepala daerah dan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Penjelasan mengapa pemilu serentak daerah harus dilakukan karena DPRD sebagai bagian pemerintahan daerah perlu dipilih bersamaan dengan kepala daerah sehingga dukungan rakyat kepada kepala daerah sejalan dengan kekuatan parpol pengusung.

Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Kammrussamad mengusulkan agar dilakukan revisi UU Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, dan kedua UU tersebut disatukan sesuai konsep omnibus law.

Menurut dia, ada dua wacana yang berkembang, yakni pertama pemisahan dengan pendekatan serentak khusus nasional, yaitu pilpres, DPR RI, DPD RI, dan serentak daerah: DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan kepala daerah.

Wacana dua, pemilu serentak legislatif (DPR, DPRD, dan DPD) dan pemilu serentak eksekutif (presiden dan kepala daerah) serta meninjau ulang kursi tiap dapil dari 3 sampai 10 menjadi 3 sampai 8 maksimal untuk DPR RI atau sebaliknya.

Ia juga mengusulkan adanya penggunaan rekap elektronik di Pemilu 2024 agar dapat memangkas waktu rekapitulasi suara yang terlalu panjang seperti yang pernah terjadi di Pemilu 2019.

Penggunaan rekap elektronik juga bisa menjadi solusi meringankan kerja KPPS sehingga beban kerja tidak terlalu banyak dan tidak kelelahan seperti yang terjadi di Pemilu 2019.

Proses administrasi rekapitulasi suara dengan pengisian banyak kertas akan memakan waktu dan tenaga sehingga ide penggunaan rekapitulasi elektronik lebih masuk akal daripada menambah anggota KPPS karena belum tentu menyelesaikan permasalahan.

Oleh karena itu, mengubah desain penyelenggaraan pemilu dan penggunaan teknologi dalam prosesnya, diharapkan dapat meringankan kerja KPPS sehingga meninggalnya ratusan anggota KPPS di Pemilu 2019 tidak terulang kembali.