Palu (ANTARA) - Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Sulawesi Tengah mengemukakan anak sering mengalami kekerasan dari orang-orang terdekat atau orang-orang yang masih dalam satu lingkungan.
"Kekerasan terhadap anak rata-rata dilakukan oleh orang terdekat korban, jenisnya beragam terdiri dari kekerasan fisik, seksual, emosional, pengabaian/penelantaran, eksploitasi termasuk trafficking," ucap Kepala Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak DP3A Sulteng, Sukarti di Palu, Rabu.
DP3A Sulawesi Tengah menyebut terdapat 156 kasus kekerasan terhadap anak terhitung Januari hingga Oktober tahun 2019. Kekerasan terhadap anak tahun 2019 berada di angka 5,7 persen. Artinya, sebut Sukarti dari 100 anak yang ada di Sulteng, terdapat 5 sampai 6 orang yang mengalami kekerasan.
Data DP3A Sulteng menyebutkan selama kurun waktu lima tahun terakhir, dari Tahun 2015 hingga 2019, prevalensi kekerasan terhadap anak paling tinggi terjadi pada Tahun 2017, yaitu sebesar 10,7 dengan total 932 kasus kekerasan terhadap anak.
DP3A Sulteng mengakui adanya fluktuasi dalam perkembangan kasus kekerasan terhadap anak, dimana pada Tahun 2015 hanya 88 kasus kekerasan terhadap anak, kemudian jumlah itu meningkat pada tahun 2017 mencapai 294 kasus. Jumlah ini kemudian menurun pada Tahun 2018 menjadi 257 dan 156 pada Tahun 2019.
"Pada Tahun 2017 terjadi kenaikan angka prevalensi terhadap anak di Sulawesi Tengah sebesar 100 persen dari tahun sebelumnya," sebut Sukarti.
Dia menerangkan berbagai upaya telah dilakukan oleh DP3A untuk mencegah dan meminimalisir tindak kekerasan terhadap anak di Sulawesi Tengah. Salah satu upaya adalah dengan membentuk sub klaster perlindungan hak perempuan dan anak.
"Sub klaster ini menghadapi tantangan dan permasalahan yang lebih kompleks sejak terjadinya bencana alam gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi pada tanggal 28 Oktober 2018. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah kondisi permukiman, perumahan dan fasilitas yang tidak terpilah antara laki-laki dan perempuan.," katanya.
Ia menambahkan, penyebab lainnya adalah kurangnya kesibukan para penyintas karena mereka kehilangan pekerjaan (menganggur), sehingga bermunculan permasalahan-permasalahan sosial lainnya seperti pengintipan di kamar mandi, pelecehan seksual, dan sebagainya.
Olehnya itu, menurut dia dibutuhkan kebijakan, strategi, dan program yang fokus, terarah, sistematis, berkelanjutan dan tepat sasaran agar kekerasan terhadap anak dan perempuan dapat dihapuskan.
Baca juga: Ulama : Tokoh agama harus terlibat merubah paradigma bias gender
Baca juga: DP3A : 44,8 persen perempuan Sulteng alami kekerasan fisik
Baca juga: DP3A maksimalkan ketahanan keluarga lindungi anak dari narkoba
Berita Terkait
Harga bahan pokok di Kota Palu stabil setelah lebaran
Jumat, 19 April 2024 16:36 Wib
Musrenbang Sulteng prioritaskan enam agenda pembangunan daerah
Jumat, 19 April 2024 14:17 Wib
Banggai Kepulauan targetkan kemiskinan tersisa 11,15 persen tahun 2024
Jumat, 19 April 2024 14:09 Wib
Brida Sulteng serahkan bantuan alat pemanggil ikan kepada nelayan
Jumat, 19 April 2024 14:06 Wib
Pengamat ingatkan Polri gali sebab 7 orang gabung kelompok teroris JI
Jumat, 19 April 2024 6:52 Wib
Densus 88 kembali amankan satu terduga anggota Jamaah Islamiyah di Kota Palu
Jumat, 19 April 2024 6:44 Wib
Pemkab Sigi tetapkan tanggap bencana 14 hari di Desa Balongga dan Sambo
Kamis, 18 April 2024 22:36 Wib
Pemkot Palu sita sebanyak 49 tabung elpiji bersubsidi dari pengecer
Kamis, 18 April 2024 22:35 Wib