Pemprov Sulteng : Anak usia 13-17 tahun sering alami kekerasan

id DP3A,Kekerasan anak

Pemprov Sulteng : Anak usia 13-17 tahun sering alami kekerasan

Kepala Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak DP3A Sulteng, Sukarti (ANTARA/Muhammad Hajiji)

Anak balita ini menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat yaitu orang tua (orang tua kandung, ayah/ibu tiri), pengasuh anak, dan keluarga terdekat
Palu (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) mengemukakan anak usia 13 - 17 tahun di Sulteng paling sering mengalami atau mendapat perlakuan kekerasan.

"Terdapat 494 kasus kekerasan terhadap anak usia 13 - 17 tahun, dalam kurun waktu Tahun 2017 hingga 2019," kata Kepala Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak DP3A Sulteng, Sukarti di Palu, Kamis.

Berdasarkan data, sebut Sukarti, kekerasan terhadap anak juga menimpa anak usia 0 - 5 tahun yang dalam kurun waktu tiga tahun sejak tahun 2017 - 2019 berjumlah 56 kasus.

"Anak balita ini menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat yaitu orang tua (orang tua kandung, ayah/ibu tiri), pengasuh anak, dan keluarga terdekat," ungkapnya.

Baca juga: DP3A Sulteng: Anak sering alami kekerasan dari orang terdekat

Kemudian, urai dia, kekerasan terhadap anak usia 6 - 12 tahun sejak tahun 2017 - 2019 sebanyak 157 kasus, yang terjadi di semua kabupaten/kota di Sulteng.

"Mereka ini adalah anak pada usia sekolah dasar, dimana anak-anak tersebut mengalami kekerasan di rumah, di sekolah, dan di tempat-tempat umum lainnya. Kekerasan di sekolah pada umumnya berupa bullying baik secara fisik maupun psikis atau kekerasan emosional," katanya.

Sukarti menerangkan berdasarkan data DP3A tahun 2019 menunjukkan terdapat 156 kasus kekerasan terhadap anak, sebanyak 105 atau 67,3 persen adalah kekerasan terhadap anak perempuan. Sedangkan kekerasan terhadap anak laki-laki berjumlah 51 orang atau 32,7 persen. 

Baca juga: KPPPA-DP3A maksimalkan PATBM akhiri kekerasan anak di Sulteng

Dengan begitu, kata dia kekerasan terhadap anak perempuan lebih dari dua kali lipat, dari laki-laki. Berdasar data tersebut dapat dikatakan bahwa mayoritas korban kekerasan adalah perempuan, sehingga terminologi Kekerasan Berbasis Gender (KGB) sering digunakan untuk menarasikan kekerasan terhadap perempuan.

"Perempuan yang menjadi korban kasus kekerasan, khususnya pemerkosaan pada umumnya merasa tabu dan takut dipermalukan. Mereka merasa khawatir akan kehilangan kehormatan dan dituduh berperilaku buruk. Sehingga banyak kasus dijumpai bahwa perempuan yang mengalami kasus pemerkosaan berusaha menggugurkan kandungannya dengan cara-cara yang tidak aman," urainya.