Ikhtiar maksimalkan pengelolaan sampah

id Sampah,Pengelolaan sampah,DPD RI,Mangku pastika

Ikhtiar maksimalkan pengelolaan sampah

Lanskap Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang di Kota Bekasi, Jawa Barat. (ANTARA/HO-Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

Jakarta (ANTARA) - Pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia masih menghadapi banyak kendala, terutama keberadaan tempat pembuangan akhir (TPA) atau "landfill".

Hal itu menyebabkan hanya 60 hingga 70 persen sampah yang bisa terangkut dan dibuang ke TPA. Sisanya tersebar dan tak tertangani.

Berbagai kebijakan telah dilaksanakan pemerintah daerah yang tujuannya untuk mengurangi timbunan sampah. Tetapi tidak semudah membayangkan karena terkait kemampuan dan ketersediaan sumber daya yang dimiliki.

Persoalan ini dihadapi hampir seluruh pemerintah daerah. Persoalan yang merata di daerah-daerah mendesak untuk segera dituntaskan karena ketidakmampuan mengelola sampah secara berpotensi menimbulkan masalah lainnya, termasuk banjir.

Permasalahan sampah juga menjadi perhatian Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Dalam kaitan untuk memacu pemerintah daerah agar lebih maksimal mengelola sampah, DPD RI melalui Komite II memantau ke beberapa daerah.

Delegasi Komite II DPD RI menyerap aspirasi masyarakat di Kota Tarakan, Kalimantan Utara, menyoroti bidang lingkungan hidup, terutama pengelolaan sampah.

Wakil Ketua Komite II DPD RI Hasan Basri saat kunjungan kerja di Kantor Wali Kota Tarakan, Kalimantan Utara, Senin (28/1) mengemukakan, dampak dari sampah yang dibuang ke TPA menimbulkan pencemaran air lindi dan gas rumah kaca.



Selain itu, sampah juga merupakan pemborosan sumber daya alam yang tak terbarukan. Maka diperlukan manajemen yang bersifat holistik mulai dari hulu hingga ke hilir pengelolaan sampah.

Senator asal Kalimantan Utara itu menjelaskan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sebagai payung hukum untuk penanganan sampah nasional. Pemerintah daerah diwajibkan untuk menutup semua TPA yang dioperasikan sebagai pembuangan sampah terbuka (open dumping) dalam jangka waktu maksimal lima tahun (sampai 2013).
 
Rombongan Komite II DPD RI ya g dipimpin Abdullah Puteh menyerap aspirasi dan rekomendasi terkait rancangan Undang Undang tentang perubahan atas UU nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah di Banda Aceh, Selasa


Sembarangan
Dalam rentang waktu yang sama, TPA baru akan dibangun untuk menggantikannya. Pembangunan tempat pembuangan sampah baru harus memakai sistem "sanitary landfill" sesuai dengan standar dan peraturan yang berlaku.

Namun sejauh ini masyarakat kurang peduli akan kebersihan. Selain itu, masyarakat juga kurang kesadaran pengelolaan dan pemilahan sampah.

Sampai saat ini sebagian masyarakat juga masih membuang sampah sembarangan. "Belum adanya kesadaran dari masyarakat," katanya.

Anggota DPD RI Provinsi Sulawesi Tengah Lukky Semen mengatakan, kehadiran Komite II DPD RI untuk menerima masukan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. Namun kehadiran Komite II DPD RI tidak terfokus pada sampah saja.

Jika ada keluhan lain dari masyarakat bisa disampaikan. "Jadi memang kehadiran kita, fokus di persampahan. Kami juga membutuhkan informasi lain sehingga kehadiran kami bisa dimanfaatkan," katanya.

Delegasi Komite II DPD RI juga mengunjungi Provinsi Bali. Tujuan kunjungan kerja (kunker) ke Pemerintah Provinsi Bali ini untuk mengetahui permasalahan atau isu pengelolaan sampah di Bali.

Selain itu mengetahui implementasi tentang UU Nomor 18 Tahun 2008 serta menyerap aspirasi dan informasi terkait dengan Penyusunan DIM RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

"Mengingat Bali merupakan salah satu contoh provinsi yang baik dalam pengelolaan sampahnya," kata Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai.

Senator asal Bali yang juga Anggota Komite II DPD RI, I Made Mangku Pastika dalam kunjungan ke Denpasar mengemukakan bahwa dulu sudah akan dibentuk sebuah badan otorita terkait dengan pengelolaan sampah di Bali namun belum terlaksana.

Selain itu edukasi terhadap masyarakat dan budaya dalam memperlakukan sampah yang perlu diubah.

Komitmen pemerintah dan pemerintah daerah harus dijaga serta perlu ditambahkan aturan tentang biaya tip (tipping fee) dalam pengelolaan sampah di Bali.

Belum Maksimal
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Utara Edy Suharto mengakui, pengelolaan sampah di Kalimantan Utara belum maksimal. Untuk itu perlu pengelolaan khusus seperti di Sulawesi berupa sampah medis.

Di Sulawesi sejauh ini suntikan atau perban tidak dibuang sembarangan. "Maka perlu dimasukkan dalam UU ini," katanya.

Pengelolaan limbah medis dinilai memang sangat mahal, apalagi selama ini melalui pihak ketiga. Maka yang akan datang di Kalimantan Utara bisa ada pengelolaan limbah medis.

"Memang untuk pengelolaan sampah medis sangat mahal. Maka ke depan kita perlu menyiapkan pengelolaan sampah medis," kata Edy.

Pihaknya juga sudah menyebarkan peraturan gubernur tentang kebijakan strategis daerah mengenai sampah di setiap kabupaten dan kota. Saat ini di Tarakan dan Nunukan masih menjadi penyumbang sampah terbanyak di Kalimantan Utara.
 
"Tarakan dan Nunukan masih menjadi penyumbang sampah terbanyak seiring meningkatnya jumlah penduduk," katanya.

Sedangkan Asisten II Sekretariat Daerah Provinsi Bali, Ni Luh Made Wiratmi menjelaskan bahwa Bali menghasilkan sekitar 2.575 ton timbunan sampah per harinya. Jumlah penduduk Bali hampir mencapai 4,5 juta jiwa pada 2018 yang tersebar di sembilan kabupaten/kota.

Salah satu masalah dari pengelolaan sampah di Bali, yaitu volume sampah di TPA yang sudah melebihi kapasitasnya. Selain itu tidak dilakukan pengolahan sesuai ketentuan UU Nomor 18 Tahun 2008.

TPA Suwung, Denpasar, masih dikelola dengan cara pembuangan sampah secara terbuka (open dumping). Lokasinya menjadi objek sengketa dengan penduduk sekitar.

Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali, I Made Teja, dulu memang akan dibentuk sebuah badan otorita terkait dengan pengelolaan sampah di Bali namun belum terlaksana.

Pembentukannya didasari alasan bahwa UU Nomor 18 Tahun 2008 terkesan setengah-setengah sehingga justru menjadikan kelemahan bagi pemerintah daerah.

Selain itu, agaknya implementasi UU ini tidak bisa dipaksakan di Bali dan karenanya diperlukan evaluasi melalui revisi terhadap UU ini.