Jakarta (ANTARA) -
Pengurus Pusat Persaudaraan Alumni 212 mempertanyakan kehadiran pegiat media sosial Ninoy Karundeng di Masjid Jami Al Falah, Jakarta Pusat, saat kericuhan demonstran, Senin (30/9).
 
"Itu Ninoy berada di situ sedang apa dan kenapa bisa jadi sasaran amuk massa?. Apa karena provokasi atau apa?," kata Ketua DPP PA 212 Slamet Ma'arif  dalam konferensi pers di Sekretariat PA 212, Kramatjati, Jakarta Timur, Rabu siang.
 
Menurut Slamet, Masjid Jami Al Falah yang beralamat di Jalan Masjid 1 Nomor 12, Pejompongan, Jakarta Pusat, menjadi tempat berlindung bagi demonstran dari kalangan mahasiswa dan pelajar saat terjadi bentrokan dengan aparat.
 
Masjid yang dikelola oleh Wakil Bendahara DPP PA 212 Supriadi itu menjadi tempat pelarian mahasiswa dan pelajar yang sedang berbeda pandangan dengan pemerintah.
 
"Bahkan masjid itu menjadi tempat penampungan korban, tempat pemberian bantuan korban. Jadi Masjid Al Falah saat itu dibuka karena memang menolong adik mahasiswa dan adik pelajar yang terkena gas air mata dan sebagainya," katanya.

Baca juga: Alumni 212 bantah terlibat penganiayaan Ninoy Karundeng
Baca juga: Munarman penuhi panggilan polisi sebagai saksi kasus Ninoy Karundeng
Baca juga: Sekjen PA 212 Abdul Jabbar ditahan
 
Pihaknya mempertanyakan kehadiran Ninoy di sekitar Masjid Jami Al Falah sambil merekam situasi sekitar masjid yang berjarak sekitar 1 kilometer dari gedung DPR RI dengan menggunakan ponsel pribadinya.
 
"Sama-sama kita ketahui, Ninoy salah satu diduga buzzernya dari tim sebelah. Kan jadi aneh. Mesti diungkap dulu. Jadi jangan cuma ngomongin asap, tapi apinya lupa," katanya.
 
Pihaknya meminta Kepolisian untuk menyelidiki kesaksian Ninoy hadir di lokasi kejadian, sebab Masjid Al Falah menjadi basis massa yang kontra terhadap kebijakan pemerintah.
 
"Itu tugas polisi untuk melakukan penyelidikan terhadap Ninoy. Ada apa dia di lokasi itu?. Padahal lokasi itu tidak aman untuk Ninoy karena mukanya dikenali orang bahwa dia berseberangan pendapat dengan mereka," katanya.

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019