Pekanbaru (ANTARA) - Kepolisian Daerah Riau sudah menetapkan 70 tersangka untuk kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Riau pada tahun ini, termasuk di dalamnya tersangka korporasi.

"Total penegakan hukum karhutla tahun 2019 sebanyak 66 laporan polisi, dengan 70 tersangka terdiri dari 68 tersangka perorangan dan dua tersangka korporasi serta 27 kasus proses sidik, satu kasus P21 dan 22 kasus telah tahap dua," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus) Polda Riau AKBP Andri Sudarmadi di Pekanbaru, Senin.

Baca juga: KLHK memproses hukum 79 korporasi terkait karhutla

Baca juga: Jaksa Agung: Tindak tegas dan tuntaskan kasus karhutla Riau

Baca juga: Bareskrim KLHK kolaborasi selidiki karhutla di konsesi korporasi Riau


Ia menjelaskan, hingga saat ini pihaknya Reskrimsus telah menangani kasus karhutla korporasi dalam wilayah Riau diantaranya PT. SSS di Desa Kuala Panduk Kecamatan Meranti Kabupaten Pelalawan. Untuk kasus ini sudah ditetapkan dua tersangka, yakni perusahaan dan pejabat perusahaan sawit tersebut.

Kasus lainnya terkait korporasi yakni PT AP di Desa Batang Nilo Kecamatan Pelalawan Kabupaten Pelalawan, dan PT.GSM di Kelurahan Rantau Panjang Kecamatan Koto Gasip, Kabupaten Siak.

Selain itu, Direskrimsus Polda Riau juga meningkatkan status penyelidikan ke penyidikan untuk kasus dugaan karhutla di konsesi PT TI di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu).

"Modus operandinya perusahaan sengaja atau lalai tidak menyiapkan sarana dan prasarana, dana yang memadai, SOP dan sumber daya manusia atau pegawai untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan," katanya.

Selain itu, ia mengatakan pada saat ini juga sedang dilakukan penyelidikan kasus karhutla yang terjadi di wilayah Kecamatan Seberida, Inhu. Jika sudah memenuhi unsur tetap, lanjutnya, maka akan ditindak lanjuti menjadi penyidikan.

Kebakaran lahan terjadi di areal perusahaan kelapa sawit itu berlokasi di estate Desa Rantau Bakung Kecamatan Rengat Barat, Inhu.

Lokasi tepatnya di dalam areal PT TI di Blok T18, T19, T20 berbatasan dengan hutan lindung Suaka Alam Margasatwa Kerumutan. Kemudian di Blok N14, N15 dan N16 dengan total areal terbakar seluas 69,06 hektare. Kebakaran terjadi pada tanggal 19 Agustus 2019.

Peningkatan status penanganan tindak pidana kartula yang terjadi di areal PT TI setelah pihak Reskrimsus Polda Riau melakukan pengukuran dan pemetaan tematik bersama ahli dari Kantor Pertanahan Kabupaten Inhu. Hal ini dilakukan untuk mengukur luasan areal yang terbakar.

Kemudian Reskrimsus bersama saksi dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Inhu dalam rangka memeriksa kewajiban pengelolaan lingkungan PT TI. Selain itu sudah dilakukan pemeriksaan terhadap kewajiban operasional PT TI melalui saksi dari Bidang Perkebunan Kabupaten Inhu.

Pihak Reskrimsus juga telah melakukan pemeriksaan sarana prasarana peralatan penanggulangan kebakaran milik PT TI serta pemeriksaan sistem deteksi dini PT TI dengan menghitung jumlah dan mengukur spesifikasi menara api milik perusahaan.

Bahkan yang terpenting dalam peningkatan status penanganan tindak pidana Karhutla di PT TI sambungnya, telah dilakukan pengambilan sampel di lokasi kejadian oleh ahli Karhutla Prof DR Ir Bambang Hero Saharjo M.AGR.

"Sebelumnya juga ada dari ahli kerusakan tanah dan lingkungan yakni DR Ir Basuki Wasis Msi dan interogasi ahli perizinan usaha perkebunan Provinsi Riau oleh Ir Amrizal Ismail," katanya.

Penyidik Polda Riau juga telah memeriksa saksi per orang sebanyak 15 orang. Diantara 15 orang saksi itu berasal dari Polres Inhu sebanyak dua orang, dari pihak perusahaan sebanyak delapan orang, pihak masyarakat dua orang dan instasi terkait sebanyak tiga orang.

"Makanya dengan dasar itu pula Reskrimsus meningkat status penanganan terlapor dalam hal ini PT TI," tambahnya.

Terhadap terlapor diterapkan pasal Pasal 98 ayat 1 Undang-Undang RI nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dimana terlapor diancam dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 10 tahun, denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.

Selain itu juga dijerat dengan pasal 99 ayat 1 Undang-Undang RI nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dipidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp3 miliar.

Pewarta: FB Anggoro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019