Kediri (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) sedang menjajaki pembentukan tim pengendali inflasi di daerah, dengan melibatkan beberapa pejabat eksekutif dan pelaku ekonomi. "Selama ini terjadinya inflasi di daerah-daerah, akibat tidak adanya koordinasi antarpemerintah daerah dalam menerapkan sistem distribusi barang", kata Deputi Pemimpin BI Kediri, Marlison Hakim, Selasa. Menurut dia, tidak adanya kesatuan pemahaman dalam menerapkan sistem distribusi barang dan jasa di daerah itulah, telah memberikan kontribusi yang besar terhadap kenaikan barang dan jasa. Tim pengendali inflasi itu menurut rencana beranggotakan Bappeda, Dinas Perhubungan, Badan Pusat Statistik (BPS), akademisi, dan para pelaku ekonomi. Sementara itu, peneliti dari Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI, Andry Prasongko menambahkan, BI Rate bukan satu-satunya komponen yang bisa mengendalikan inflasi. "Tim pengendali inflasi ini nantinya harus berperan besar. Bahkan di Sulawesi Selatan, jajaran Polri dan TNI ikut dilibatkan untuk mengendalikan inflasi", katanya usai menyampaikan materi dalam seminar "Perkembangan Perekonomian Terkini" di BI Kediri itu. Selain BI Rate, beberapa komponen yang bisa mengendalikan inflasi adalah Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar lima persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK), intervensi valuta asing, dan operasi pasar secara terbuka. "Nah, sekarang harus diingat pula keterlibatan beberapa instansi, karena inflasi di daerah dipicu oleh tidak adanya penyeragaman dalam sistem distribusi barang dan jasa", katanya menambahkan. Tidak ada penyeragaman sistem distribusi barang dan jasa inilah, lanjut dia, yang mengakibatkan maraknya pungutan liar (pungli). Bahkan BI mencatat, 50 persen dari biaya distribusi barang dan jasa adalah untuk pungli. "Kalau pungli bisa dihilangkan, kami yakin harga barang dan jasa akan bisa ditekan dan secara tidak langsung juga menghambat laju inflasi", katanya menegaskan. Oleh sebab itu, dia juga meminta beberapa pihak untuk memberikan perhatian kepada para pedagang yang mengalami kendala distribusi, diantaranya tingginya biaya angkut, keterbatasan armada pengangkut, dan kondisi infrastruktur yang tidak memadai. Sementara pada tahun 2008 ini, BI memperkirakan inflasi "year to year" berkisar antara 11,5 hingga 12,5 persen yang dipengaruhi oleh inflasi impor, dampak kenaikan BBM pada bulan Mei 2008, dan kenaikan harga beberapa komoditas utama, seperti beras, minyak goreng, gula pasir, daging, dan cabai merah. Namun demikian, BI tetap optimistis perekonomian nasional pada tahun 2008 ini akan mengalami pertumbuhan di atas enam persen. Peneliti ekonomi BI, M Noor Nugroho menyebutkan, pertumbuhan ekonomi itu diantaranya berasal dari peningkatan kinerja ekspor dan investasi, permintaan domestik tetap kuat, dan laju pertumbuhan didukung oleh tingginya harga komoditas internasional.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008