Banda Aceh (ANTARA News) - Sebagian warga Desa Cot Pangee, lalu Mukim Lamteungoh, dan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya terpaksa mengungsi, bukan karena banjir atau pun tsunami, tetapi karena gajah liar yang mengamuk.

Konflik warga dengan gajah sumatera (elephas maximus sumatranus) di daerah itu sudah berlangsung lebih dua bulan, namun puncaknya terjadi pada pekan ketiga Nopember lalu ketika seorang petani tewas dan dua rumah roboh oleh ulah satwa dilindungi itu.

Muhammad Wahi (32) tewas, setelah seekor gajah liar menarik tubuhnya dengan belalai saat ia istirahat di rumah sederhananya sekitar pukul 20.30 WIB. Keluarganya tidak mampu berbuat apa-apa kecuali menjerit histeris.

Tetangga juga tidak beranai membantu hingga tubuh petani itu dibawa gajah dalam kegelapan malam.  Jenazah Wahi ditemukan keesokan harinya sekitar 30 meter dari rumahnya.

Konflik antara satwa liar dan manusia di desa yang berada sekitar 130 km barat kota Banda Aceh itu sudah sangat mengkhawatirkan.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Nangroe Aceh Darussalam (NAD) Andi Basrul menyebut konflik manusia dengan satwa liar itu sebagai dampak rusaknya habitat satwa akibat pembalakan liar (illegal logging).

Gajah Sumatera termasuk binatang berdarah panas dan jika kondisi cuaca panas akan bergerak mencari naungan (thermal cover) untuk menstabilkan suhu tubuhnya.

Tempat yang sering dipakai sebagai naungan dan istirahat pada siang hari adalah vegetasi hutan yang lebat. Lalu ke mana mereka akan berlindung apabila tempat bernaungnya sudah rusak?

Gajah termasuk jenis hewan herbivora yang membutuhkan ketersediaan makanan hijauan yang cukup. Ia membutuhkan habitat bervegetasi pohon untuk makanan pelengkap dalam memenuhi kebutuhan mineral, kalsium, untuk memperkuat tulang, gigi dan gading.

Karena pencernaannya yang kurang sempurna, gajah membutuhkan makanan yang sangat banyak, yaitu 200 sampai 300 kg biomassa per hari untuk setiap ekor gajah dewasa atau 5 sampai 10% dari berat badannya.

Menurut Andi, gajah termasuk satwa yang sangat bergantung pada air sehingga pada sore hari biasanya mencari sumber air untuk minum, membasahi tubuh, dan berkubang. Seekor gajah Sumatera membutuhkan air minum sekitar 20 hingga 50 liter sehari.

Ketika sumber-sumber air mengalami kekeringan, gajah dapat melakukan penggalian air sedalam 50 hingga 100 cm di dasar-dasar sungai yang kering dengan menggunakan kaki depan dan belalainya.

Populasi

Menurut analisis Data Citra Satelit (ADS), populasi gajah sumatera kini diperkirakan tersisa sekitar 2.400 hingga 2.800 ekor, turun sekitar 35 persen dibandingkan sepuluh tahun lalu. Tahun 1992, gajah sumatera diperkirakan masih ada 5.000 ekor.

Turunnya populasi gajah diduga karena tingginya laju kerusakan habitat, terutama akibat pembalakan liar atau perubahan tata ruang serta perburuan. Konflik dengan manusia menjadi faktor utama berkurangnya populasi hewan bertubuh besar itu.

Penyelamatan gajah sangat tergantung dari tingkat kelestarian habitatnya, maka kegiatan pembukaan hutan baru harus ditinjau ulang serta tata ruang perlu dibangun dengan mengakomondir aspek-aspek ekologis.

DCS menyebutkan, antara tahun 1990-2000 tercatat hutan dataran rendah sumatera menyusut drastis, sekitar 8 juta hektare, sehingga memicu konflik antara satwa liar dengan manusia.

Kawanan gajah turun mencari makanan hingga merusak tanaman pertanian dan perkebunan rakyat karena habitatnya mulai rusak, disamping terusik suara bising dari mesin pemotong kayu yang beroperasi tidak terkendali.

Gajah membutuhkan garam-garam mineral, antara lain calcium, magnesium dan kalium. Garam-garam ini diperoleh dengan cara memakan gumpalan tanah yang mengandung garam, menggemburkan tanah tebing yang keras dengan kaki depan dan gadingnya.

Mamalia darat ini membutuhkan wilayah jelajah yang sangat luas antara 32,4 - 166,9 km2. Wilayah jelajah unit-unit kelompok gajah di hutan-hutan primer mempunyai ukuran dua kali lebih besar dibanding di hutan sekunder.

Satwa liar dilindungi itu juga membutuhkan suasana yang aman dan nyaman agar perilaku kawin (breeding) tidak terganggu dan proses reproduksinya dapat berjalan dengan baik dan sangat peka terhadap bunyi-bunyian.

Iskandar Musa, salah seorang tokoh masyarakat Aceh Jaya menyebutkan gangguan gajah di wilayah Desa Cot Pangee semakin parah terjadi di penghujung tahun 2008.

Sebelumnya, masyarakat setempat dan gajah dapat hidup damai dan tidak saling menyerang.

Sebagai contoh disebutkan, pertahan tahun 2008, kawanan gajah yang berjumlah sekitar 13 ekor sering berkeliaran di sekitar Desa Cot Pangee, Desa Krueng Ayon dan Babahlo, sedangkan masyarakat tidak pernah diganggu, bukan seperti akhir Desember ini.

"Seorang petani sempat membantu mengobati seekor anak gajah yang jalan terseok-seok akibat kakinya terluka, sedangkan induknya tetap menunggu dari kejauhan sekitar 100 meter, namun tidak ada konflik," katanya mengisahkan pengalaman unik seorang petani Krueng Ayun.

Bukan itu saja, sekitar Juni 2008, kawanan gajah tersebut pernah menjadi tontotan gratis bagi sejumlah warga pemukiman Pantee Purba serta sebagian mereka dapat mengabadikan melalui kamera dari jarak sekitar 100 meter.

Kondisi harmonis antara satwa liar dan manusia di perdalaman Kecamatan Sampoiniet, sekitar 40 km dari Calang, ibukota Kabupaten Aceh Jaya secara tiba-tiba berubah menjadi beringas dan setiap petani yang dipergokinya dikejar.
(*)

Pewarta: Oleh Syahruddin Hamzah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008