Kalau tidak memilih (teknologi) keduanya, berarti dibelah (operasi) lalu dilihat ada batu ginjal atau tidak,
Yogyakarta (ANTARA) - Pakar Nuklir Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Budhie Wijatna mengatakan setiap pasien berhak mengetahui informasi kadar paparan radiasi dari sejumlah alat pemindai medis dengan teknologi nuklir di rumah sakit.

"Itu haknya publik untuk tahu dan harusnya publik juga bertanya," kata Agus ditemui di Kampus UGM, Yogyakarta, Kamis.

Dengan mengetahui kadar paparan radiasi serta faktor risiko sesuai kondisi tubuhnya, menurut dia akan menjadi bahan pertimbangan pasien untuk memilih alat pemindai seperti Computerized tomography scan (CT Scan) atau foto rontgen untuk keperluan diagnosis penyakitnya.

Baca juga: Bapeten akan pasang 126 detektor radiasi pantau radiasi nuklir

Agus menjelaskan untuk foto rontgen yang menggunakan sinar X memiliki radiasi 0,1 milisievert. Sedangkan CT Scan, radiasinya lebih besar mencapai 10 milisievert karena hasilnya lebih jelas dalam bentuk tiga dimensi.

Penggunaan teknologi CT scan maupun foto rontgen memang memiliki manfaat besar untuk memudahkan deteksi penyakit di dalam tubuh seperti batu ginjal. Melalui teknologi itu, batu ginjal bisa dilihat secara visual tanpa melalui operasi.

"Kalau tidak memilih (teknologi) keduanya, berarti dibelah (operasi) lalu dilihat ada batu ginjal atau tidak. Kalau ternyata tidak ada maka dikembalikan lagi," tambah dia.

Baca juga: Menteri:Radiasi di kompleks Batan Indah bukan kebocoran reaktor nuklir

Pada prinsipnya, menurut dia radiasi dari alat pemindai medis masih dalam batas aman.

Aturan administratif yang diterapkan di Indonesia disepakati paparan radiasi yang bisa digunakan maksimal sebesar 1 millisievert per tahun atau 0,5 mikrosievert per jam. Untuk para pekerja yang bergelut dengan alat-alat radiasi, ambang batas yang diizinkan bisa mencapai 50 milisievert per tahun.

"Ini adalah bentuk kehati-hatian dari pengguna teknologi nuklir agar setiap langkah yang diambil ada kepastkan aman," kata dia.

Sedangkan zat radioaktif,  baru akan memiliki dampak klinis pada tubuh manusia apabila paparannya telah mencapai 500 milisievert sekali papar. Dalam kondisi itu, terjadi perubahan posisi sel pada tubuh manusia.

"Oleh sebab itu, dalam pemanfaatan teknologi nuklir manfaatnya harus lebih besar dibandingkan risikonya," ujar dia.

Baca juga: Praktisi : Mandi dan makan bantu hilangkan paparan radiasi nuklir

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Hendra Agusta
Copyright © ANTARA 2020