Jakarta (ANTARA) - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyampaikan penjelasan Presiden tentang Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Pemerintah Indonesia dan Swiss (Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Between The Republic of Indonesia and The Swiss Confederation) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

"Dalam kesempatan berbahagia ini, izinkan kami menyampaikan penjelasan Presiden atas Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Pemerintah Indonesia dan Swiss," ujar Yasonna dalam rapat kerja gabungan dengan Komisi I dan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen RI Senayan, Jakarta, Kamis.

Yasonna mengatakan dalam rangka mencapai tujuan negara yang disampaikan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 alinea keempat, Indonesia wajib melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

"Maka Indonesia memiliki kewajiban untuk menjamin penegakan hukum dan melakukan kerja sama dengan negara lain untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk memenuhi tujuan tersebut, salah satunya dengan melaksanakan kerja sama internasional," katanya.

Kebutuhan kerja sama internasional juga disebabkan semakin majunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Yasonna mengatakan bahwa kemajuan iptek itu mengubah pola kehidupan masyarakat menjadi semakin tidak mengenal lagi batas wilayah negaranya.

"Konsekuensi (kemajuan iptek) itu tidak hanya berdampak positif tetapi juga berdampak negatif dengan timbulnya tindak pidana lintas negara," kata Yasonna.
​​​​​​​
Menkumham mengatakan pelaksanaan kerja sama bantuan hukum timbal-balik dalam masalah pidana selama ini hanya berdasarkan kepada hubungan baik antar-negara atau prinsip resiprositas, hal itu dinilai dapat menjadi kurang efektif.

"Karena tidak adanya kepastian proses untuk memenuhi permintaan bantuan hukum," kata Yasonna.
​​​​​​​
Oleh karena itu, katanya, mekanisme kerja sama dibuat berdasarkan perjanjian mutual legal assistance agar lebih efektif karena secara jelas menentukan proses atas permintaan bantuan hukum.

Baca juga: Indonesia - Swiss tanda tangani MoU bidang ketenagakerjaan

Yasonna mengatakan perjanjian bantuan hukum timbal-balik dalam masalah pidana antara Pemerintah Indonesia dan Konfederasi Swiss diatur juga berdasarkan asas berlaku surut (retro-active).

"Dengan berlakunya asas ini, membuka kemungkinan dilakukannya permintaan bantuan hukum timbal-balik untuk tindak pidana yang dilakukan sebelum berlakunya perjanjian ini," kata Yasonna.
​​​​​​​
Namun, lanjutnya, permintaan bantuan hukum timbal-balik dengan asas berlaku surut itu dibatasi dengan adanya masa kadaluarsa dalam hukum pidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Setelah penandatanganan perjanjian bilateral antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Konfederasi Swiss pada 4 Februari 2019 di Bern, Swiss, maka masing-masing pihak perlu melakukan prosedur internal untuk berlakunya perjanjian tersebut.

Prosedur internal tersebut, jika mengacu pada peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, maka Rancangan Undang-Undang tentang Perjanjian Timbal-Balik dalam Masalah Pidana itu menentukan substansi yang berkenaan dengan kedaulatan negara, keamanan negara, dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Baca juga: RI-Swiss jalin kerja sama pendidikan vokasi industri

Pokok-pokok yang diatur berdasarkan Undang-Undang Perjanjian Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Pemerintah Indonesia dan Konfederasi Swiss adalah sebagai berikut:
1. Pengambilan kesaksian atau keterangan lainnya

2. Pengiriman barang, dokumen, catatan, dan bukti

3. Penyerahan barang dan aset untuk tujuan perampasan atau pengembalian

4. Penyediaan informasi, penggeledahan badan dan properti, pelacakan dan pengidentifikasian orang dan properti termasuk memeriksa barang dan tempat

5. Menelusuri, membekukan, menyita, dan merampas hasil sarana kejahatan dan penyampaian dokumen-dokumen

6. Menghadirkan orang yang ditahan dalam rangka interogasi atau konfrontasi

7. Mengundang saksi dan ahli untuk dihadirkan di negara peminta

8. Bantuan lain sesuai dengan perjanjian ini yang disepakati kedua belah pihak (Indonesia-Swiss) sepanjang tidak bertentangan dengan hukum negara yang diminta.

Baca juga: Menperin bertemu Menteri Ekonomi Swiss, bahas kerja sama dua negara

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020